Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 06/05/2011, 03:12 WIB

SAMSUDIN BERLIAN

Sangat penting penegasan Anton Moeliono minggu lalu dalam kolom ini bahwa, sebagai bangsa yang sedang memasuki peradaban beraksara, penyerapan kata asing diharapkan didasarkan pada tulisan dan bukan lagi dari lafal. Peradaban dan bahasa tulis tak terpisahkan. Semua peradaban yang kita kenal di muka bumi adalah peradaban tulis. Dengan segala hormat terhadap budaya leluhur, Melayu yang tak pernah mengembangkan tulisan sendiri tak dianggap peradaban oleh dunia, atau tak dianggap penting sebagai peradaban.

Sayang, walaupun dikatakan perlu taat asas, beberapa contoh kata serapan yang dikemukakan pereksa bahasa itu tidak ajek. Bahwa management diserap sebagai manajemen jelas menunjukkan keterbelahan sikap, tulis mau lafal suka. Banyak kata lain, seperti imajinasi atau jenius, mengalami pengubahan serupa, padahal taat asas di sini tentu seharusnya berarti managemen, imaginasi, genius. Begitu pula dengan contoh aransemen yang seharusnya arangemen (baca: aran-gemen). Dalam hal penyerapan kata mengandung g-lunak (berbunyi j atau z) dari bahasa berbasis Latin, kita memang skizofrenik.

Keraguan juga tampak dalam penyerapan mass dan turunannya. Sangat meragukan bahwa KBBI membakukan massa karena lebih menekankan tulisan daripada lisan. Fakta bahwa ada lema masif tapi tidak massif menyiratkan bahwa massa dipilih hanya karena sudah ada masa. Hal serupa terjadi pada tarikh, yang dipilih karena sudah ada tarik, tetapi tawarik dianggap lebih baku daripada tawarikh. Ada bank, yang jelas dituliskan demikian supaya tidak dikacaukan dengan bang, tapi tidak ada bankrut, melainkan bangkrut.

Banyak pula kata serapan yang huruf-huruf aslinya diganti bukan sekadar untuk mengikuti lafal, melainkan juga karena beberapa huruf rupanya dianggap anak tiri. Tak ada alasan logis mengapa maximum harus dijadikan maksimum. Sesungguhnya sangatlah aneh bahwa kita tak menggunakan external, experimen, axioma, exklusif, exekutif, komplex, klimax. Juga, mengapa tak boleh qualitas dan quantum? Bukankah pengusaha air pun tak enggan memakai unsur -qua tanpa membingungkan siapa pun?

Consistent dan president dijadikan konsisten dan presiden, walaupun banyak produk yang berhubungan dengan gigi tidak gagap memakai nama merek berakhiran -dent. Mungkin lidah Indonesia dianggap tak bisa mengucapkan dua huruf mati berturut-turut, terutama di akhir kata. Kalaupun argumen ini dianggap benar, ini hanya membuktikan adanya keinginan menyesuaikan tulisan dengan bunyi yang dianggap bisa diucapkan, jadi masih merajakan lisan di atas tulisan!

Memang sekadar mengusung prinsip tulisan di atas lisan tak dengan sendirinya menyelesaikan masalah, bahkan bisa menimbulkan banyak persoalan baru, dan tidak pula harus menjadi harga mati karena mau tidak mau sebagian huruf harus diubah dalam proses penyerapan.

Pengalihan secara ajek unsur -cc- (aksesori-asesori-acesori?), -rd- (standar-standard, standarisasi-standardisasi?), dan banyak banyak lagi tentu sangat tidak sederhana. Namun, yang terpenting adalah ketepatan dalam pewarisan makna lama dan kecerdasan dalam pengolahan makna baru. Dan, pada akhirnya pemakai luaslah yang menentukan, bukan otoritas—atau authoritas?—bahasa.

SAMSUDIN BERLIAN Pemerhati Makna Kata

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com