Oleh GIANIE dan BIMA BASKARA
Aset atau harta kekayaan negara di pusat hingga daerah, mengacu pada kerangka hukum perdata Indonesia, adalah segala yang termasuk dalam benda tak bergerak dan bergerak.
Benda tak bergerak berupa tanah dan bangunan di atasnya serta potensi kekayaan alam di dalamnya. Benda bergerak berupa benda berwujud (mesin, kendaraan, dan perhiasan) dan tak berwujud (hak cipta dan merek).
Aset atau harta terbangun berkembang karena didukung alokasi belanja atau konsumsi pemerintah. Dalam struktur perekonomian negara, konsumsi atau belanja pemerintah berkontribusi dalam pembangunan selain konsumsi masyarakat.
Belanja pemerintah diharapkan kian membesar untuk menggerakkan perekonomian. Arahnya pada pembangunan fisik, baik gedung, sarana, maupun prasarana lain. Melalui pembangunan fisik, pemerintah membuka lapangan kerja, terutama padat karya, selain menaikkan permintaan dan produksi barang sektor konstruksi, seperti semen dan baja.
Namun, semangat pembangunan fisik itu baru sebatas pengadaan, masih lemah dalam optimalisasi pemanfaatan dan pemeliharaan. Belum terlihat upaya yang mampu menjamin keberlanjutan nilai ekonomis dan pemanfaatan aset di masa mendatang.
Peran otonomi
Setelah pemberlakuan otonomi daerah, pembangunan sarana fisik menjamur di hampir semua wilayah provinsi dan kabupaten/ kota. Semangatnya sama, yakni mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat.
Pasal 152 Ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah mengamanatkan perencanaan pembangunan daerah berdasarkan informasi akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Informasi, antara lain, mencakup keuangan, potensi sumber daya, kependudukan, dan informasi dasar kewilayahan.
Alih-alih berjalan memakai patokan peraturan, proyek fisik pemerintah banyak yang hadir sporadis atau spontan ketimbang terencana.