Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tak Jelas, Dana Bagi Hasil 18 Provinsi

Kompas.com - 17/01/2011, 12:46 WIB

MEDAN, KOMPAS.com - Tuntutan 18 provinsi yang memiliki areal perkebunan cukup luas, agar pemerintah pusat mengalokasikan dana bagi hasil perkebunan ke daerah, makin tak jelas nasibnya.

Kementerian Koordinator Perekonomian hingga kini tak lagi merespon tuntutan tersebut. Padahal bagi beberapa provinsi yang tak memiliki sumber daya mineral dan gas, bagi hasil perkebunan menjadi salah satu alternatif menggenjot pendapatan daerah.

Kepala Bidang Pengembangan dan Pengendalian Dinas Pendapatan Provinsi Sumut Victor Lumban Raja mengungkapkan, tuntutan 18 provinsi agar pemerintah pusat mengalokasikan dana bagi hasil perkebunan sebenarnya sempat direspon.

"September tahun lalu, Kementerian Koordinator Perekonomian melalui salah seorang deputinya memanggil kami. Sumut ditetapkan sebagai koordinator karena kami yang sejak awal mengawal tuntutan ini. Saat itu peme rintah pusat menjanjikan akan segera membahas tuntutan ini dengan melibatkan semua provinsi yang memiliki areal perkebunan cukup luas," kata Victor.

Akan tetapi, hingga kini Kementerian Koordinator Perekonomian sama sekali tak pernah merespon tuntutan tersebut. Padahal lanjut Victor di saat bersamaan, sebenarnya instrumen untuk menentukan dana bagi hasil perkebunan sudah semakin banyak, di antaranya dari persentase bea keluar ekspor crude palm oil (CPO) atau minyak kelapa sawit.

"Kalau memang instrumennya ditetapkan dari bea keluar CPO kan, pengusaha perkebunan sudah tidak terbebani lagi. Pemerintah tinggal mengalokasikan saja untuk daerah, hasil yang mereka peroleh dari bea keluar ekspor CPO," katanya.

Saat ini dengan harga CPO yang berkisar 1.280 - 1.290 dollar Amerika Serikat perton, pemerintah menetapkan bea keluar sebesar 20 persen. Instrumen pembagi yang paling jelas memang bea keluar ekspor.

Kebetulan bea keluar untuk ekspor CPO ini kan termasuk besar. Tetapi nanti juga harus dipikirkan instrumen pembagi lainnya untuk komoditi karet dan kakao, kata anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Sumut Parlindungan Purba.

Menurut Parlindungan, DPD RI sebenarnya sudah memparipurnakan tuntutan bagi hasil perkebunan dalam sidang merek a. Dia mengatakan, hingga saat ini memang pemerintah belum menentukan sikap yang jelas soal tuntutan 18 provinsi yang meminta bagi hasil perkebunan.

Waktu kami bertemu dengan Menteri Keuangan, beliau bilang pemerintah pusat pada prinsipnya tinggal menung gu perubahan Undang-Undang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Pihak perkebunan negara (PTPN) sebenarnya tidak keberatan dengan tuntutan daerah ini, asal ada landasan hukumnya. Kami berharap DPR sudah memasukkan rencana perubahan Undang-Undang perimban gan keuangan pusat dan daerah ini dalam prolegnas (program legislasi nasional), kata Parlindungan.

Tuntutan bagi hasil perkebunan oleh 18 provinsi ini menurut Victor menjadi upaya daerah mencari sumber pendapatan lain, jika wilayahnya tak memiliki sumber daya mineral dan gas. Sebab, UU hanya mengalokasikan dana bagi hasil bagi usaha pertambangan.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com