Oleh: Tjipta Lesmana
KOMPAS.com - Tiga minggu yang lalu, saya melihat aksi unjuk rasa, sebagian besar pesertanya kaum perempuan, di St Paul, ibu kota negara bagian Minnesota, Amerika Serikat. Mereka menentang keputusan parlemen (bersama pemerintah) untuk menutup lebih dari 10 perpustakaan umum.
Namun, parlemen bersikukuh dengan keputusannya, di samping memangkas banyak pos pengeluaran lain dalam upaya menghemat anggaran belanja Negara Bagian Minnesota akibat krisis ekonomi yang melanda AS.
Presiden Barack Obama, Maret lalu, menunda kunjungannya ke Indonesia karena harus ”bertempur” melawan Kongres yang semula bersikap kritis terhadap RUU Kesehatan yang diajukan pemerintah. Yang digugat Kongres adalah seberapa efektif RUU itu jika dilaksanakan terhadap kesejahteraan rakyat miskin dikaitkan dengan anggaran besar yang diperuntukkannya. Penghematan, itulah tema sentral di semua negara Eropa dan Amerika saat ini.
Negara kita, kalau mau jujur, dewasa ini sesungguhnya tetap dilanda krisis ekonomi. Adalah naïf jika ada orang yang tidak mengakui realita ini. Sayangnya, pemerintah—bersama DPR— mencari solusi gampang menghadapi krisis tersebut, dengan membiarkan anggaran belanja membengkak, seberapa pun keinginan pemerintah dan DPR, dan menutup semua defisit anggaran dengan utang, baik dalam maupun luar negeri.
Maka, utang pemerintah selama lima tahun terakhir meningkat tajam sekitar Rp 500 triliun karena tak ada upaya serius pemerintah dan DPR melakukan penghematan, tetapi seperti justru membiarkan terjadinya pemborosan.
Pemborosan yang dimaksud, antara lain, untuk pemekaran wilayah baru, pilkada tiga kali sehari dari Sabang sampai Merauke, pembengkakan birokrasi (berapa jumlah menteri kita sekarang? pembangunan instansi fisik yang belum perlu, dan tuntutan keuangan yang aneh-aneh dari DPR sendiri.
Desakan Partai Golkar agar setiap anggota DPR dialokasikan anggaran Rp 15 miliar per tahun untuk ”dana aspirasi” adalah salah satunya. Jika desakan ini diwujudkan, berarti perlu tambahan anggaran Rp 8,4 triliun efektif mulai APBN 2011.
Sekadar catatan: untuk tambahan anggaran pembangunan monorel yang begitu vital sebesar Rp 1 triliun saja, Pemerintah DKI susah sekali mencarinya. Untuk menghemat subsidi BBM Rp 2 triliun, pemerintah telah membuat jutaan pemilik sepeda motor resah dan gusar karena rencananya mereka tidak boleh lagi membeli BBM bersubsidi.
Banyak orang tidak tahu bahwa untuk APBN 2010 pemerintah diam-diam sudah menyetujui dan mengalokasikan tambahan anggaran kepada DPR berupa ”dana operasional” sebesar Rp 100 miliar per Komisi. Alhasil, Rp 1 triliun lebih ”raib” untuk DPR. Pemerintah begitu gampang takluk pada tuntutan DPR. Mungkin karena ketika itu Sri Mulyani Indrawati selaku menteri keuangan sedang ”pusing” dihantam DPR terkait skandal Bank Century.