Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Memasukkan Karya ke Dalam Zamannya

Kompas.com - 30/01/2010, 14:55 WIB

Oleh : Sabiq Carebesth

Sejak kapan seorang di sebut sebagai seniman? Tentu saja setiap orang (dan setiap seniman) boleh turut menjawab sesuai dengan kadar horizon pengalamannya atas realitas diri dan realitas kehidupan. Demikian karenanya tulisan ini tidak berpretensi untuk memberikan jawaban baku atas pertanyaan itu. Toh memang tidak akan bisa—inspirasi—yang menjiwai kesenian hendak di institusikan dalam kebakuan. Namun tuisan ini ingin menjadi sebagai wahana berefleksi, evaluasi dan kontemplasi menuju tindakan praksis.

“Seni bukanlah penolakan total bukan pula penerimaan total terhadap sesuatu seperti apa adanya.” Demikianlah sekilas paham kesenian Alber Camus. Yang pertama dimaksud Camus sebagai rujukan pada pengertian “Nihilisme”, sedangkan yang kedua pada pengertian atas “realisme” kalau tidak boleh menyebut konsep “mimesis” Aristoteles yang acap kali diintrpretasi sebagai semata-mata “meniru yang di alam riil” tanpa menyertakan pengertian reintrepretasi dan konfrontasi seperti pernah dibicarakan Umar Kayam atau YB. Mangunwijaya.”Usaha meniru adalah usaha reintrepretasi, semakin kompleks akan semakin baik dalam usahanya memahami.”

Lantas apakah yang diinginkan Camus bagi seni (kebebasan) kita? ”Tidak perlu menentukan, apakah seni harus lari dari realitas atau tunduk pada realitas, melainkan berapa dosis realitas yang harus di ambil karya seni sebagai pemberat agar tidak mengapung di antara awan-awan atau supaya tidak terseret di dasar bersama sepatu pemberat.” (Albert Camus, Perlawanan, Pemberontakan, Kematian. Hlm. 336)

Dalam hal di atas terkandung dengan jelas paham absurditas dan pemberontakan Camus, bahwa seni sekaligus merupakan penolakan dan penerimaan, resepsi dan sekaligus paralogy imaji ideal manusia dengan realitas historis yang berlangsung dialekstis; dan inilah sebabnya mengapa seni harus merupakan aksi menjauh yang terus menerus diperbarui. Seniman senantiasa hidup dalam abiguitas; yang tidak mampu menegasikan yang riil, namun terus menerus mempertanyakan dalam aspek-aspeknya yang tidak pernah selesai. Konskuensinya, gaya yang agung terletak antara seniman dan objeknya. Setiap seniman memecahkan masalah ini menurut hemat sendiri dan kemampuannya. Semakin besar seorang seniman memberontak melawan realitas dunia, semakin besar bobot realitas untuk mengimbangi pemberontakkan itu. Namun, bobot itu tidak pernah melumpuhkan kebutuhan soliter seniman. Itulah absurditas pandangan Camus atas persoalan relitas, imaji dan seni kita, yang kiranya masih pantas ditimbang. 

******

“Realitas Imaji dan Seni Kita”

Juru jagal yang senantiasa menjadi ancaman bagi dunia kasusatraan, atau yang Jean Paul Sarte menyebutnya “seni menulis”, dalam renungannya pada tahun 1947, bahwa seni menulis terancam oleh dua bahaya: propaganda dan hiburan. “Seandainya dunia menulis terbawa menjadi propaganda belaka, atau hiburan semata, maka masyarakat akan kembali hidup tanpa ingatan bak lebah atau siput.” Tulisnya dalam situation de la literature (1947)

Daniele Sallanave, seorang guru sastra dan film Universitas Nanterre dalam esainya yang berjudul “Dunia Kita” memberikan suatu penalaran yang mempermudah kita memahami ancaman yang dimaksud Sarte. Menurut Daniele Sallanave, tentang seni propaganda, kita tahu banyak melalui rezim otoriter yang sepanjang abad ini, dengan tekad dan tekun mengekang semua jenis fiksi dan narasi, dan mengintimidasi para pengarang, atau menumpasnya begitu saja. Apa yang menimpa Pramodya Ananta Toer dan karyanya adalah contoh yang dekat dan nyata dalam hal ini.

Tentan hiburan semata, seni untuk seni, kita tahu lebih banyak ketimbang Sarte, atau Pram, sebabnya, zaman kita ini ditandai secara mencolok oleh suatu kemerosotan seni kearah budaya mengisi keisengan, hiburan, dan kearah komoditas—dengan mempromosikan buku-buku pelarap (best seller) bikinan. Dengan kata lain, seni makin tunduk pada hokum konsumsi. Dibandingkan dengan seni rupa dan perfilman, kasusatraan sedikit banyak berhasil lolos. Sebabnya infestasi (uang modal) dibidang sastra relative rendah. Namun celakanya, dengan ironis, hal itu dibarengi dengan suatu ralitas minimnya apresiasi (kepedulian dan minat) orang terhadap sastra. Jumlah pembaca karya sastra(pembaca yang oleh NH. Dini disebut sebagai yang mau melesat kedalam dunia pengarang dan meninggalkan dunianya sendiri,) mandek atau bahkan menurun. Sementara produksi sastra yang bisa dikatakan mengalami peningkatan—diantara indikasi semakin banyak bermunculannya penulis—tetap menyimpan ironisme dengan kenyataan produksi sastra yang lahir masih cenderung mempergunakan jenis dan topic narasi yang sudah usang. Ujung-ujungnya,--hiburan missal—beralih ke film atau bahkan sinetron.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com