Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Petani Tak Tertarik Tanam Singkong

Kompas.com - 19/08/2009, 04:47 WIB

Pagi itu, Minggu (26/7), Mardi, warga Desa Baturetno, Banguntapan, Bantul, memanen singkong yang ditanamnya di halaman belakang rumahnya. Tidak banyak yang dipanen, hasilnya hanya sekitar 15 kilogram. Ia menjualnya seharga Rp 500 per kg, jadi total uang yang diperolehnya Rp 7.500.

Mardi adalah salah satu warga yang mau memanfaatkan lahan sekitar rumah untuk bertanam singkong. Tidak banyak orang seperti dia. Sebagian besar enggan menanam singkong karena harganya rendah. Mereka memilih membiarkan lahannya kosong atau dimanfaatkan untuk keperluan lain. Gerakan menanam singkong dengan memanfaatkan lahan sekitar rumah atau sekitar sawah masih belum menjadi tradisi di Bantul, DI Yogyakarta.

Rendahnya harga jual singkong menjadi persoalan serius. Di Bantul tak banyak petani yang melirik singkong sebagai komoditas pertanian. Padahal, kebutuhan singkong di daerah itu cukup tinggi, khususnya untuk industri gatot-tiwul dan tepung tapioka.

Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bantul Edy Suharyanto mengatakan, petani hanya menanam singkong di lahan marjinal, seperti di daerah pegunungan. Di Bantul ada lima kecamatan yang memiliki wilayah pegunungan, yakni Dlingo, Imogiri, Pajangan, Pundong, dan Piyungan.

”Petani tidak mau menanam singkong di lahan produktif persawahan karena hasilnya tidak terlalu menjanjikan. Mereka memilih menanam padi atau jenis palawija lainnya,” katanya.

Harga jual singkong saat ini Rp 500-Rp 800 per kg, jauh lebih rendah dibandingkan dengan harga kedelai yang mencapai Rp 5.000 dan jagung Rp 4.000 per kg.

Edy menambahkan, selain faktor harga jual, petani di Bantul juga belum merasa kepepet. Jika kondisi sudah terdesak, mereka bisa saja memanfaatkan lahan di sekitar rumah dan lahan pasir. ”Petani Bantul sudah merasa tercukupi dengan mengandalkan lahan persawahan mereka,” katanya.

Selain harga jual, minimnya teknologi pengembangan singkong juga membuat komoditas itu tidak populer. Tidak banyak penelitian untuk pengembangan singkong.

Terkait dengan harga jual, petani Bantul seharusnya bisa bersikap jeli dalam menangkap peluang pasar. Saat ini kebutuhan akan singkong tergolong masih tinggi, baik untuk tepung gaplek, tapioka, maupun industri makanan lainnya. Tak hanya itu, singkong juga mulai dimanfaatkan untuk membuat biofuel. Di Bantul, selain industri gatot-tiwul, juga terdapat industri tepung tapioka di Desa Srihardono, Kecamatan Pundong.

Muhari (50), salah seorang perajin tepung tapioka, mengatakan, akibat tersendatnya pasokan singkong, produksinya turun hingga 30 persen. Perajin berharap petani mau menanam singkong agar pasokan bahan baku mereka lancar. ”Sayangnya, peminatnya masih terbatas,” ujarnya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com