JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah mengancam menarik diri dari pembahasan Rancangan Undang-Undang Pemilu jika syarat presidential threshold tidak sesuai yang diinginkan, yaitu 20 persen perolehan kursi atau 25 persen perolehan suara nasional.
Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai, Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku pihak penyelenggara akan kerepotan menyusun aturan Pemilu Serentak 2019.
Sebab, aturan yang dipakai untuk pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 masih akan mengacu pada undang-undang saat ini.
"Saya yakin, kalau kembali ke undang-undang lama, pasti KPU harus bekerja keras membuat peraturan teknis tahapan pemilu yang selaras dan tidak bertentangan dengan satu sama lain," kata Titi, saat dihubungi, Selasa (11/7/2017).
Baca: Perludem: Desain Undang-Undang Lama Bukan untuk Pemilu Serentak
Selain itu, lanjut Titi, pemilih juga akan kebingungan karena peilu digelar secara serentak, tetapi undang-undangnya memisahkan pemilihan presiden dan pemilihan legislatif.
"Misal soal pendaftaran pemilih yang waktunya dibedakan. Apakah artinya akan ada dua aktivitas pemutakhiran data pemilih, kalau hanya sekali pemutakhiran maka bagaimana menyinkronkannya? Itu hal yang kesannya sangat teknis namun mengandung kompleksitas tersendiri," kata Titi.
Sementara, Ketua Panitia Khusus RUU Pemilu Lukman Edy mengatakan, akan ada implikasi politik yang besar jika Pemilu 2019 kembali menggunakan undang-undang yang lama.
Menurut dia, akan ada beberapa pihak yang berpotensi meragukan keabsahannya.
Baca: Ketum PPP: Koalisi Pemerintah Solid Tak Ubah 'Presidential Threshold'
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.