JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pemilu (RUU Pemilu) Yandri Susanto membantah jika biaya yang ditanggung negara untuk saksi pemilu mencapai Rp 10 triliun.
Ia menanggapi wacana yang berkembang dalam pembahasan RUU Pemilu agar saksi pemilu dibiayai oleh APBN.
"Misalnya Rp 200 ribu per orang, sudah kami hitung Rp 1,8 triliun. Anggap saja BLT (Bantuan Langsung Tunai) 5 tahun sekali," kata Yandri, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (4/5/2017).
Penolakan dari pemerintah terhadap usulan tersebut, menurut dia, karena pemerintah belum mendengarkan dari DPR secara komprehensif.
Yandri menjelaskan, dana tersebut nantinya tak akan dipegang oleh partai politik melainkan dialokasikan untuk Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
(Baca: Kenapa Negara yang Diminta Membiayai Saksi Pemilu?)
Bawaslu akan mengatur semua hal terkait saksi pemilu, mulai dari pelatihan saksi, verifikasi saksi, memantau kerja saksi, hingga memberikan uang.
"Kalau diterima oleh rakyat langsung dia bisa beli pulsa, bisa beli beras, beli susu, kegiatan ekonomi juga bisa bergerak di desa dan itu bukan untuk partai. Partai tidak mnerima satu sen pun. Partai cuma menyiapkan surat mandat siapa yang diutus," kata dia.
Menurut Yandri, usulan ini akan meringankan para calon yang akan bertarung pada Pemilihan Presiden 2019.
Para calon presiden dan wakil presiden tak perlu mengeluarkan uang dari kantong pribadinya untuk membiayai saksi pemilu di seluruh Indonesia.
(Baca: Bayar Saksi Pemilu Rp 10 Triliun oleh Negara Dianggap Mubazir)
Yandri yakin, angkanya akan mencapai triliunan rupiah jika biaya saksi dikeluarkan oleh masing-masing pasangan capres-cawapres
"Saya yakin betul pemerintah akan terima kalau penjelasannya seperti yang saya sampaikan tadi," kata Politisi PAN itu.