JAKARTA, KOMPAS.com - Berita bohong atau "hoax" banyak mewarnai Pilkada DKI Jakarta yang baru saja berakhir dua pekan ini.
Menurut Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini berita bohong ini merupakan satu dari banyak masalah serius yang muncul dalam Pilkada DKI Jakarta.
"Mengapa hoax lestari dalam Pilkada dan Pemilu kita?" kata Titi dalam sebuah diskusi di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jakarta, Rabu (3/5/2017).
Titi menyampaikan, setidaknya ada tiga faktor yang membuat subur munculnya hoax di media sosial, yaitu regulasi yang belum menjangkau pemberantasan hoax, pembiaran yang dilakukan oleh pasangan calon, dan lambannya respons dari lembaga penyelenggara pemilu.
Faktor pertama, soal regulasi yang tidak bisa menjangkau praktik penyebaran hoax di media sosial dikarenakan adanya disparitas pemaknaan penegakan hukum.
(Baca: Pembuat Berita "Hoax" yang Catut Nama Sri Sultan Ditangkap)
Pasal 69 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 telah menyebutkan dengan jelas larangan dalam kampanye seperti menghasut, memfitnah, mengadu domba partai politik, perseorangan dan atau kelompok masyarakat.
Menurut Titi, pasal ini seharusnya masih relevan digunakan untuk menindak penyebaran hoax di media sosial. Namun penegakan hukum tidak dilakukan serius di media sosial sebagaimana di media konvensional seperti alat peraga dan bahan kampanye.
"Padahal kan yang penting perbuatannya yang dilarang. Mediumnya apa, seharusnya kan tidak dibedakan," kata Titi.
Sementara itu, faktor kedua yaitu pasangan calon peserta pemilu tidak mempunyai komitmen untuk memerangi hoax. Titi lebih lanjut mengatakan, kalaupun ada imbauan dari pasangan calon kepada tim sukses, pendukung, dan simpatisan mereka untuk tidak menyebarkan hoax, bahasa yang digunakan terlalu formal.
(Baca: Begini Cara Gus Mus Tangani "Hoax")
"Situasi ini (merebaknya hoax) seperti dibiarkan oleh elite. Jadi, imbauan elite itu sifatnya hanya optimisme. Komitmen konkret dan nyata untuk menolak kampanye hoax yang berbasis SARA memang tidak ada di Pilkada kita," tutur Titi.
Terakhir yaitu faktor kapabilitas penyelenggara pemilu dalam menangkal penyebaran hoax. Titi mengatakan, bahkan berita bohong yang beredar tidak hanya menyerang pasangan calon, melainkan tata cara atau teknis penyelenggaraan pemilu.
Dan, menurut Titi, berkaca dari Pilkada DKI Jakarta kemarin, penyelenggara pemilu gagal merespons berita bohong.
"Misalnya jelang hari pemungutan suara beredar berita yang luar biasa, bahwa bagi yang tidak dapat C6 tetapi ada namanya di DPT, tetap tidak bisa menggunakan hak pilih. Dan itu berantai di whatsapp. Dan sayangnya penyelenggara pemilu kita lamban meresponsnya," kata Titi.
Dia pun berharap, ke depan penyelenggara pemilu bisa lebih responsif apabila ada berita bohong yang tersebar di media sosial, utamanya yang berkaitan dengan proses penyelenggaraan pemilu.
"Terus terang kemarin penyelenggara pemilu kita itu tidak ada yang bisa mengikuti ritme penggunaan media sosial dalam Pilkada," kata Titi.