JAKARTA, KOMPAS.com - Hukum tanpa politik adalah angan-angan. Politik tanpa hukum adalah kelaliman. Adagium yang dipopulerkan Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran, Mochtar Koesoemaatmadja itu, menggambarkan polemik pemilihan Pimpinan DPD yang berlangsung dua hari belakangan.
Selasa (4/4/2017) malam, sekitar pukul 20.00 WIB, ruang Sidang Paripurna Nusantara V nampak riuh rendah.
Tak kurang dari 50 anggota DPD memadati ruang sidang, menyaksikan pembacaan sumpah jabatan Ketua DPD yang baru, Oesman Sapta Odang, dan Nono Sampono serta Darmayanti Lubis selaku Wakil Ketua DPD yang baru.
Beberapa unsur partai politik terlihat hadir di ruang sidang. Di antara mereka yang hadir ialah Sekretris Jenderal Partai Hanura Sarifuddin Sudding dan Wakil Ketua Hanura sekaligus Ketua Fraksi Hanura di DPR Nurdin Tampubolon.
Meski baru pertama kali terjadi dalam Sidang Paripurna DPD, hadirnya unsur parpol menjadi mafhum, sebab Oesman Sapta merupakan Ketua Umum Hanura. Rasa bahagia terlihat dari raut muka mereka yang datang.
Sama sekali tak tampak sedikitpun rasa bersalah karena telah mengangkangi putusan hukum dari Mahkamah Agung (MA), selaku penguasa tertinggi kuasa yudikatif.
Bekerja demi kekuasaan
Pengamat Hukum Tata Negara, Feri Amsari, tertawa saat dimintai komentar terkait polemik pemilihan Pimpinan DPD.
"Ya begini kalau sudah bekerja demi kekuasaan semata. Putusan hukum pun bisa diabaikan demi meloloskan kepentingan politik," ujar Feri saat ditemui di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (4/4/2017) malam.
Ia mengungkapkan kekecewaannya kepada DPD selaku lembaga tinggi negara yang dengan mudah mengangkangi putusan hukum yang sah.
Feri mengatakan, dengan adanya putusan MA yang membatalkan Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Nomor 1 Tahun 2017, maka pemilihan Pimpinan DPD yang baru menjadi tidak sah.
Putusan tersebut membatalkan dasar hukum berlangsungnya pemilihan Pimpinan DPD yang baru saja membaca sumpah jabatan, Selasa (4/4/2017) malam. Sebab masa jabatan Pimpinan DPD yang lama yakni Mohammad Saleh selaku ketua dan Mohammad Farouk serta GKR Hemas selaku wakil ketua, kembali menjadi 5 tahun.
Akal-akalan DPD
Namun, pemilihan Pimpinan DPD baru tetap digelar. Bahkan, DPD melakukan perubahan tata tertib yang seolah menyesuaikan dengan putusan MA terkait masa jabatan Pimpinan DPD.
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) memberlakukan tata tertib baru, menyesuaikan dengan putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan Tata Tertib Nomor 1 Tahun 2016 dan 2017, ihwal masa jabatan Pimpinan DPD yang berlaku selama 2,5 tahun.