DHAKA, KOMPAS — Terorisme, ekstremisme, dan kejahatan antarbangsa merupakan persoalan serius yang perlu segera diatasi. Ketiga masalah tersebut berpotensi mengancam eksistensi negara. Untuk itu, perlu dibangun kerja sama antarnegara, baik taktik maupun teknis, dalam upaya pencegahan.
Isu terorisme, ekstremisme, dan kejahatan antarnegara merupakan tema yang menjadi perhatian bersama dalam konferensi kepala kepolisian negara di Asia Selatan serta negara tetangganya yang berlangsung di Dhaka, Banglades, Minggu (12/3). Konferensi ini menindaklanjuti pertemuan Interpol di Bali, Indonesia, November 2016, dan pertemuan puncak pemimpin negara anggota Asosiasi Kerja Sama Lingkar Samudra Hindia (IORA), di Jakarta, pekan lalu.
Wartawan Kompas, Rusdi Amral, dari Dhaka, Sabtu (11/3), melaporkan, pertemuan kepala kepolisian tersebut diikuti 21 negara, termasuk Indonesia. Delegasi Indonesia dipimpin Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Syafruddin dengan menyertakan Detasemen Khusus (Densus) Antiteror 88 dan Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.
Terorisme menjadi perhatian dunia karena gerakan ini semakin menakutkan dan meluas begitu cepat. Pengaruh dan jaringan terorisme berkembang luas akibat perkembangan teknologi informatika dan transportasi. Aksi teror lebih mudah berkembang di negara dengan sistem keamanan lemah.
Syafruddin menegaskan, terorisme menjadi masalah global yang harus mendapat perhatian serius. Tidak hanya disebabkan ketidakadilan dalam ekonomi, tetapi juga berkembang menjadi masalah ideologi. Untuk itu, perlu pendekatan yang tepat agar terorisme tidak tumbuh subur di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.
Indonesia, kata Syafruddin, memilih cara pencegahan (soft power). Ia menambahkan, sekitar 80 persen negara di dunia berhasil menangani terorisme dengan pencegahan, sedangkan upaya penegakan hukum (hard power) diyakini tidak mampu meminimalkan kasus terorisme.
Saat bertemu Syafruddin, Deputi Menteri Senior Afganistan Nur Rahman menjelaskan, Afganistan tengah menghadapi lebih dari 20 kelompok ekstremis yang aksi terornya terus meningkat. "Setiap tahun 20-30 aparat kepolisian kami tewas melawan aksi teror di negara kami," ujarnya.
Akar rumput
Dari Palu, Sulawesi Tengah, upaya pemerintah dan para pemangku kepentingan mencegah berkembangnya radikalisme belum terwujud di tingkat akar rumput. Sembilan terduga teroris yang ditangkap, Jumat lalu, diperkirakan kelompok baru yang tak terkait Mujahidin Indonesia Timur (MIT).
"Selama ini, tak tampak upaya pencegahan di tingkat akar rumput melibatkan tokoh masyarakat, komunitas-komunitas," kata aktivis perdamaian Kabupaten Poso, Budiman Maliki.
Sebelumnya, Kepala Polda Sulteng Brigadir Jenderal (Pol) Rudy Sufahriadi menyampaikan, sembilan terduga teroris itu tidak terkait MIT yang setahun terakhir diburu dalam Operasi Tinombala. Namun, mereka sama-sana berafiliasi dengan Negara Islam di Irak dan Suriah. (VDL)
--
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 13 Maret 2017, di halaman 4 dengan judul "Terorisme Ancam Negara".