JAKARTA, KOMPAS — Masifnya peredaran informasi palsu (hoax) melalui media sosial hendaknya menyadarkan pengelola media arus utama untuk bekerja lebih profesional dengan standar jurnalistik tinggi.
Masyarakat butuh rujukan informasi yang tepercaya dan pada sisi itulah media massa dapat menjawabnya melalui suguhan informasi terverifikasi.
”Media massa harus memperjelas fungsinya sebagai penyaji fakta empiris dan kebenaran,” kata pengamat media Ashadi Siregar, Selasa (7/2/2017), di Yogyakarta.
Ashadi mengingatkan, fungsi utama kerja media massa adalah membuat masyarakat memiliki informasi yang memadai tentang sebuah peristiwa dan fenomena. Fungsi semacam itu hanya bisa dipenuhi jika media massa terus menyajikan fakta-fakta empiris.
Sementara itu, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara pada seminar ”Menuju Pelaksanaan World Press Freedom Day” dalam rangkaian Hari Pers Nasional di Ambon, Maluku, Selasa, mengingatkan perlunya dirumuskan kode etik bagaimana media massa arus utama menghadapi informasi yang menyebar di media sosial.
”Informasi dari media sosial yang belum jelas kadang begitu saja dirujuk dan dikutip media massa arus utama dalam pemberitaan mereka. Berita itu kemudian bergulir menjadi viral dan menjadi lingkaran setan,” ucapnya.
Menurut Rudiantara, sejumlah kalangan beranggapan hoax akan berkurang setelah momen pemilihan kepala daerah serentak digelar. Namun, tak ada yang bisa menjamin hal tersebut akan terjadi.
Rudiantara menambahkan, peningkatan literasi dalam menghadapi era digital menjadi kebutuhan yang sangat mendesak.
Pemerintah siap menggandeng organisasi-organisasi profesi jurnalis untuk bersama-sama membuat kode etik bagaimana media massa menghadapi media sosial.
Isu tentang hoax akan menjadi salah satu pembahasan dalam perayaan World Press Freedom Day 2017 yang akan digelar Mei mendatang di Jakarta. Saat ini, hoax telah menjadi isu global, bukan hanya di Indonesia.
Pegang etika
Ketua Dewan Pers Bagir Manan mengatakan, media sosial merupakan fenomena yang tak mungkin dibendung mengingat begitu pesatnya perkembangan ilmu dan teknologi. Yang bisa dilakukan adalah bagaimana menyikapinya agar bisa bermanfaat.
Menurut Bagir, di tengah maraknya peredaran informasi-informasi palsu, yang perlu tetap dijunjung tinggi oleh wartawan atau jurnalis adalah etika.
”Profesi wartawan menuntut individual responsibility (pertanggungjawaban individu). Selain butuh keterampilan dan pengetahuan, jurnalis juga wajib menjunjung etika jurnalistik. Aturan yang ada bukan untuk mengendalikan, melainkan untuk melindungi wartawan. Esensi dari profesi ini adalah mengatur dirinya sendiri atas dasar tanggung jawab,” katanya.
Dalam rangka meningkatkan profesionalitas wartawan sekaligus menghadapi maraknya peredaran hoax, Dewan Pers melakukan pendataan dan verifikasi perusahaan pers.