JAKARTA, KOMPAS.com – Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi menilai keputusan pemerintah yang menaikkan tarif pengurusan surat kendaraan bermotor merupakan kebijakan yang tidak tepat.
Apalagi jika didasarkan pada alasan penyesuaian terhadap inflasi. Menurut Tulus, surat-surat kendaraan bermotor adalah pelayanan publik yang tak harus disesuaikan dengan inflasi.
“Alasan inflasi untuk menaikkan tarif, sebagaimana alasan Menkeu adalah kurang tepat. Sebab, STNK, SIM adalah bukan produk jasa komersial tetapi pelayanan publik yang harus disediakan birokrasi,” kata Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi, dalam keterangan tertulis, Rabu (4/1/2017).
(Baca: Penjelasan Kapolri soal Kenaikan Tarif Kepengurusan Surat Kendaraan)
Keputusan kenaikan tarif itu diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2016 tentang Jenis dan Tarif atau Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang Berlaku pada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Menteri Keuangan Sri Mulyani, sebelumnya mengatakan, kenaikan itu merupakan upaya pemerintah untuk menyesuaikan laju inflasi.
Di samping juga sebagai upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan layanan kepada seluruh masyarakat.
Tulus beranggapan, alasan inflasi baru tepat digunakan apabila STNK, SIM atau BPKB merupakan bagian dari produk ekonomi komersial yang berbasis cost production dan benefit.
“Atau setidaknya produk yang dikelola oleh BUMN,” ujarnya.
Selain itu, ia beranggapan, kenaikan itu belum sesuai dengan sistem birokrasi pelayanan pembuatan surat-surat tersebut.
(Baca: Tarif Pengurusan Surat Kendaraan Naik sampai Tiga Kali Lipat)
Masyarakat hingga kini masih kerap mengeluhkan lamanya proses pembuatan yang berjalan.
Di samping itu, ia mengatakan, kenaikan tarif seharusnya juga harus paralel dengan reformasi pelayanan angkutan umum di seluruh Indonesia.
“Ini dengan asumsi jika kenaikan itu sebagai bentuk pengendalian penggunaan kendaraan pribadi dan mendorong migrasi ke angkutan umum,” tandasnya.