JAKARTA, KOMPAS.com - Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Febri Diansyah mengklaim pihaknya mengetahui keberadaan Direktur Utama PT Melati Technofo Indonesia (MFI) Fahmi Darmawansyah (FD), tersangka korupsi di Badan Keamanan Laut (Bakamla).
Namun, saat ditanya letak keberadaan Fahmi secara pasti, Febri enggan menjawab.
"Kami belum bisa jawab hal yang sangat teknis soal posisi, soal pergerakan atau yang lain-lain," ujar Febri saat ditemui di Kantor KPK, Senin (19/12/2016).
Febri mengatakan, KPK berharap agar Fahmi bersikap kooperatif untuk kembali ke Indonesia dan menjalani pemeriksaan.
Meski belum ada kejelasan terkait waktu kepulangan Fahmi, Febri menyatakan belum ada keputusan resmi dari KPK untuk menjemput secara paksa atau berkoordinasi dengan pihak Interpol.
(Baca: Satu Tersangka Penyuap Pejabat Bakamla Berada di Luar Negeri)
Ia menambahkan, bukan kali ini saja KPK berhadapan dengan tersangka yang enggan pulang saat berada di luar negeri. Namun, Febri memastikan KPK selalu bisa menghadapi situasi tersebut dan membawa tersangka ke meja hijau.
"Harapannya tentu tidak ada pikiran dari FD utk mengikuti jejak sebelumnya yang enggan pulang. Sebaiknya bersikap kooperatif, itu lebih menguntungkan bagi tersangka maupun bagi pengungkapan perkara ini," tutur Febri.
Direktur Utama PT Melati Technofo Indonesia, Fahmi Darmawansyah, ditetapkan sebagai salah satu tersangka penyuap pejabat Badan Keamanan Laut (Bakamla) Eko Susilo Hadi.
Menurut penyidik KPK, Fahmi saat ini sedang berada di luar negeri.
"Beberapa hari sebelum terjadi operasi tangkap tangan, yang bersangkutan sudah berada di luar negeri," ujar Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung KPK Jakarta, Jumat (16/12/2016).
Fahmi ditangkap karena terlibat kasus dugaan suap yang juga melibatkan pejabat Badan Keamanan Laut (Bakamla) Eko Susilo Hadi, terkait pengadaan 5 unit monitoring satelit di Bakamla.
Kelima satelit itu rencananya akan digunakan di 5 kota. (Baca: Proyek Monitoring Satelit Bakamla Rencananya Ditempatkan di 5 Kota)
Berdasarkan dokumen pelelangan umum yang diperoleh dari situs Bakamla.go.id, monitoring satelit tersebut akan digunakan di Tarakan, Ambon, Kupang, Semarang dan Jakarta.
Nilai pagu proyek tersebut senilai Rp 402.710.273.000, dengan nilai harga perkiraan sendiri (HPS) senilai Rp 402.273.025.612.