DEPOK, KOMPAS.com - Kepala Bidang Investigasi Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri, Faisal Tayeb, berharap revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme dapat segera diselesaikan oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Sebab, UU Antiterorisme itu dianggap Faisal belum memberikan pengaturan yang komprehensif dalam menangani tindak pidana terorisme.
"Sebenarnya keperluan ini keperluan negara, bukan keperluan institusi. Sehingga kami harap revisi UU ini segera diselesaikan," kata Faisal dalam paparan pada sebuah simposium di Universitas Indonesia, Depok, Rabu (30/11/2016).
Faisal menyebutkan, pihaknya di lapangan telah mengeluh terkait pengaturan di UU Pemberantasan Terorisme sejak tahun 2010.
"Sejak kami evaluasi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003, kesimpulannya undang-undang itu bersifat darurat," ucapnya.
(Baca juga: Kepala BNPT Berharap RUU Antiterorisme Perkuat Penanganan Korban)
Menurut Faisal, UU Nomor 15 Tahun 2003 saat itu dibentuk dalam keadaan mendesak untuk mengungkap dan menangkap pelaku Bom Bali yang terjadi pada 12 Oktober 2002.
Akibatnya, ada beberapa sisi dalam pemberantasan terorisme yang belum terpikirkan.
"Pencegahan tidak dipikirkan, kegiatan permukaan tidak dipikirkan, penyebaran, pendanaan tidak dipikirkan," ujar Faisal.
Saat ini, Dewan Perwakilan Rakyat tengah menggodok revisi undang-undang tersebut. Berbagai masuk telah diterima DPR dalam rapat dengar pendapat.
Selain itu, Panitia Khusus (Pansus) revisi UU 15/2003 merencanakan kunjungan kerja ke Inggris dan Amerika Serikat untuk mempelajari penanganan kasus terorisme di dua negara tersebut.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.