JAKARTA, KOMPAS.com — Musyawarah Kerja Nasional I Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menghasilkan berbagai rekomendasi. Salah satu rekomendasi itu adalah amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
PPP ingin mengubah klausul di dalam Pasal 6 ayat (1) UUD 1945 tentang syarat calon presiden.
Dalam pasal itu disebutkan, "Calon presiden dan calon wakil presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden".
PPP ingin butir pasal tersebut menjadi: "Calon presiden dan calon wakil presiden harus seorang warga negara Indonesia asli sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden dan wakil presiden".
(Baca: "Capres Asli Indonesia" dan Kewajiban Memilih Calon Muslim Jadi Rekomendasi Mukernas PPP)
Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Parahyangan Asep Warlan Yusuf mengatakan sulit untuk mendefinisikan kata "Indonesia asli" yang dimaksud. Usulan PPP dinilai sudah tak relevan jika dilihat dari konteksnya.
"Memang dalam UUD 45 kata 'asli' itu ada maksudnya. Ada konteks zamannya," kata Asep saat dihubungi, Rabu (6/10/2016) malam.
"Dulu khawatir yang jadi presiden adalah orang-orang Belanda, Jepang, orang asing. Makanya founding fathers kita menggunakan kata 'asli'. Karena UU Kewarganegaraan kan belum dibentuk waktu itu," ujarnya.
Namun, menurut Asep, untuk konteks saat ini, sulit untuk memaknai kata "Indonesia asli" yang dimaksud.
Pendefinisian kata "Indonesia asli" tak serta-merta bisa langsung dirumuskan dalam undang-undang terkait, namun harus dipaparkan jelas dalam UUD 1945 itu sendiri, baru kemudian diatur lebih lanjut dalam undang-undang.
Hal tersebut dimaksudkan agar definisinya tidak sembarangan digunakan atau berubah.
"Kalau langsung diterjemahkan oleh undang-undang, bisa berbahaya. Akan menyulitkan lagi, kata 'asli' seperti apa," tuturnya.
Usulan itu pun dinilai Asep sebagai sebuah kemunduran dari segi hukum. Sebuah pembaruan hukum seharusnya lebih progresif, jelas, terukur, rasional, logis, dan berorientasi pada kepentingan negara.
"Jadi kalau hukumnya sekarang memandang seperti itu maka enggak maju hukum kita," kata Asep.
Sejumlah politisi lintas partai pun angkat bicara terkait usulan tersebut. Ketua DPP Partai Hanura Dadang Rusdiana, misalnya, menilai usulan tersebut tak relevan.