JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Forest Watch Indonesia (FWI) Togu Manurung menilai surat perintah penghentian penyedikan (SP3) yang diterbitkan polisi untuk 15 perusahaan yang sempat menjadi tersangka pembakaran hutan dan lahan harus dikaji ulang.
Menurut Togu, penerbitan SP3 kepada 15 perusahaan yang menjadi tersangka pembakaran merupakan tindak pembiaran oleh aparat terhadap permasalahan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia.
"Bagaimana pemerintah menangani ini? Ini seperti pembiaran. Sudah jelas dibakar, tapi tidak ada tindakan tegas dari pemerintah," ujar Togu ketika dihubungi di Jakarta, Jumat (26/8/2016).
Togu menilai, penerbitan SP3 dapat mengirim sinyal negatif kepada publik terkait konsistensi pemerintah dalam mengatasi masalah karhutla.
"Pemerintah ini mau menangani masalah karhutla, tapi mereka dilepas. Ini bisa mengirim sinyal yang salah," ucap Togu.
(Baca: Jokowi Minta Kapolri Evaluasi SP3 Kasus 15 Perusahaan yang Disangka Bakar Hutan)
Togu mengatakan seharusnya pemerintah menindak tegas pelaku pembakar hutan sesuai dengan peraturan pidana yang berlaku.
Peraturan tersebut antara lain berasal dari tiga undang-undang yang mengatur persoalan karhutla. Pertama, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Pasal 78 ayat (3) menyebut, pelaku pembakaran hutan dikenakan sanksi kurungan 15 tahun dan denda maksimal Rp 5 miliar.
Adapun, pada Pasal 78 ayat (4) menyebut, pelaku pembakaran hutan dikenakan sanksi kurungan 5 tahun dam denda maksimal sebesar Rp 1,5 miliar.
Kedua, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. Pasal 8 ayat (1) menyebutkan, seseorang yang sengaja membuka lahan dengan cara dibakar dikenakan sanksi kurungan 10 tahun dan denda maksimal Rp 10 miliar.
(Baca: Kebakaran Hutan, Ketidaktahuan Atau Kerakusan?)
Ketiga, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan hidup. Pada Pasal 108 menyebutkan, seseorang yang sengaja membuka lahan dengan cara dibakar dikenakan sanksi minimal 3 tahun dan maksimal 10 tahun serta denda maksimal Rp 10 miliar.
"Sudah jelas pembakaran ini ulah manusia, baik perseorangan maupun korporasi," lanjut Togu.
Selain itu, Togu juga menghimbau pemerintah untuk memberikan sosialisasi kepada masyarakat secara konsisten dan berjangka panjang. Pasalnya, masih banyak masyarakat memiliki tradisi membuka lahan baru dengan cara membakar, seperti yang dilakukan oleh suku Dayak Gawai di Kalimantan.
"Pemerintah juga harus memberikan penyuluhan yang konsisten dan jangka panjang. Beri mereka alternatif bagaimana membuka lahan tanpa perlu membakar," tutur dia.