JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Pusat Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia Sholahudin menyebut, kekuatan kelompok teroris di Indonesia tidak sebesar gagasan mereka sendiri tentang radikalisme.
"Teroris di Indonesia, kalau kata orang bilang, nafsu besar, tenaga kurang," ujar Sholahudin dalam acara diskusi di Graha Oikumene, Jalan Salemba, Jakarta Pusat, Senin (22/8/2016).
Pelemahan kekuatan itu terjadi sejak tahun 2010. Hal itu terjadi karena sejumlah tokoh teroris kelas kakap banyak yang ditangkap, dipenjara, dan ditembak mati oleh Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri.
Bom Bali I tahun 2002 adalah salah satu teror bom terakhir yang memiliki skala besar. Jumlah bahan peledak lebih dari satu ton sehingga menewaskan ratusan orang.
Namun, Sholahudin meminta publik menengok aksi teror yang terakhir terjadi di Indonesia, yakni bom motor di Mapolres Surakarta, 5 Juli 2016 lalu.
Kekuatan bom sangat kecil dan hanya menewaskan si pelaku sendiri. Bahkan, pot bunga yang berada dekat lokasi kejadian tidak mengalami kerusakan.
Pelaku disebut-sebut mengincar apel Polisi yang dilakukan setiap pukul 08.00 WIB. Namun, pelaku beraksi dua puluh menit lebih awal.
Hal ini yang menurut Sholahudin menunjukkan betapa lemahnya survei pelaku terhadap sasarannya.
"Kasihannya lagi, nomor rangka motor tidak dihapus dan dia satu-satunya pelaku yang bawa KTP. Untung dia enggak sekalian bawa surat nikah dan KK. Sehingga ini dengan mudah teridentifikasi," ujar Sholahudin.
Dengan kondisi begitu, Sholahudin berharap dijadikan momentum pemerintah mengebut program deradikalisasi dan kontraterorisme.