Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Diskriminasi Kelompok LGBT dan Pemerintah yang "Tutup Mata"

Kompas.com - 21/08/2016, 23:05 WIB
Kristian Erdianto

Penulis

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah dinilai belum memiliki perhatian terkait maraknya peristiwa kekerasan dan tindakan diskriminatif terhadap kelompok lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) di Indonesia.

Hal tersebut terlihat dari semakin meningkatnya kasus kekerasan terhadap kelompok LGBT yang berhasil dicatat oleh Arus Pelangi, sebuah organisasi masyarakat sipil yang kerap melakukan advokasi dalam isu-isu LGBT.

Salah seorang pegiat hak asasi manusia (HAM) dari Arus Pelangi, Yulita Rustinawati, memaparkan bahwa sejak Januari hingga Maret 2016, terdapat 142 kasus penangkapan, penyerangan, diskriminasi, pengusiran, dan ujaran kebencian yang ditujukan kepada kelompok LGBT.

Sementara itu, pada tahun 2013 tercatat 89,3 persen dari seluruh jumlah LGBT yang ada di Indonesia mengalami kekerasan psikis, fisik, dan budaya.

Yuli mengatakan, berdasarkan hasil penelitian Arus Pelangi, diketahui bahwa pelaku ujaran kebencian mayoritas adalah aparat negara yang kemudian membuat legitimasi kepada organisasi intoleran melakukan kekerasan kepada kelompok LGBT.

Seiring dengan semakin banyaknya kekerasan tersebut, muncullah gerakan masyarakat sipil yang memperjuangkan perlindungan HAM kelompok LGBT.

"Gerakan masyarakat sipil tersebut bermula dari kesadaran adanya diskriminasi dan kekerasan yang dialami oleh kelompok LGBT. Kekerasan tersebut masih berlangsung hingga saat ini," ujar Yuli dalam diskusi bertajuk Politik, Keragaman, dan Keadilan Gender di Indonesia di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (21/8/2016).

Yuli menjelaskan, gerakan masyarakat sipil yang memperjuangkan hak kelompok LGBT sebenarnya sudah muncul sekitar tahun 1980-an di kota-kota besar, khususnya Jakarta.

Saat itu beberapa organisasi yang ada lebih banyak bergerak di lingkup kesehatan dan HIV/AIDS. Kemudian memasuki tahun 2000-an, muncul organisasi yang bergerak di bidang advokasi bagi kelompok rentan dan sulit mendapatkan akses keadilan.

Arus Pelangi menjadi salah satu organisasi tersebut. Yuli menuturkan, banyak kasus kekerasan yang menimpa kelompok LGBT sebagai korbannya. Namun karena keterbatasan kemampuan, akhirnya mereka tidak memperoleh keadilan yang seharusnya mereka dapatkan.

"Kami memang ingin membuat satu organisasi yang lingkup kerjanya melakukan advokasi bagi kelompok LGBT yang rentan dan sangat sulit mendapatkan akses keadilan," ungkap dia.

Antara stigma dan norma agama

Menurut Yuli, gerakan dalam memperjuangkan hak kelompok LGBT akan selalu menemui hambatan besar di masyarakat, selama stigma negatif terus ditujukan kepada orang-orang dengan orientasi seksual yang berbeda. Lesbian, gay, biseksual dan transgender kerap dipandang sebagai suatu penyakit yang harus disembuhkan.

Mereka, kata Yuli, seringkali tidak diperlakukan sebagai manusia yang memiliki hak asasi sejak lahir. Belum lagi mereka harus berbenturan dengan nilai dan norma agama yang selalu digunakan kelompok intoleran untuk melegitimasi kekerasan terhadap kelompok LGBT.

Yuli berpendapat, lahirnya resistensi di masyarakat terhadap kelompok LGBT disebabkan oleh kurangnya kesadaran bahwa manusia itu beragam. Menurutnya, keberagaman tidak hanya dilihat dari sisi suku, agama, ras dan golongan, tapi juga beragam dari sisi orientasi seksual serta identitas gender.

"Setiap orang memiliki hak untuk tidak setuju terhadap LGBT, namun akan bermasalah ketika ketidaksetujuan tersebut berlanjut ke tindak kekerasan dan penyebaran kebencian. Masyarakat harus bisa melihat dari sisi lain bahwa kelompok LGBT juga manusia yang memiliki hak asasi," tuturnya.

Halaman:


Terkini Lainnya

MK Bakal Unggah Dokumen 'Amicus Curiae' agar Bisa Diakses Publik

MK Bakal Unggah Dokumen "Amicus Curiae" agar Bisa Diakses Publik

Nasional
PSI Punya 180 Anggota DPRD, Kaesang: Modal Baik untuk Pilkada

PSI Punya 180 Anggota DPRD, Kaesang: Modal Baik untuk Pilkada

Nasional
Polri Sebut 8 Teroris yang Ditangkap di Sulteng Pernah Latihan Paramiliter di Poso

Polri Sebut 8 Teroris yang Ditangkap di Sulteng Pernah Latihan Paramiliter di Poso

Nasional
MK Kirim Surat Panggilan untuk Hadiri Pembacaan Putusan Sengketa Pilpres 2024

MK Kirim Surat Panggilan untuk Hadiri Pembacaan Putusan Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Putusan MK Soal Sengketa Pilpres 2024 Dinilai Bakal Tunjukan Apakah Indonesia Masih Negara Hukum

Putusan MK Soal Sengketa Pilpres 2024 Dinilai Bakal Tunjukan Apakah Indonesia Masih Negara Hukum

Nasional
Daftar Aset Mewah Harvey Moeis yang Disita Kejagung dalam Kasus Dugaan Korupsi Timah

Daftar Aset Mewah Harvey Moeis yang Disita Kejagung dalam Kasus Dugaan Korupsi Timah

Nasional
Hanya Pihak Berkepentingan yang Boleh Hadir di Sidang Putusan Sengketa Pilpres

Hanya Pihak Berkepentingan yang Boleh Hadir di Sidang Putusan Sengketa Pilpres

Nasional
Soal Maju Kembali di Pilkada Jateng, Sudirman Said: Kan Sudah Pernah

Soal Maju Kembali di Pilkada Jateng, Sudirman Said: Kan Sudah Pernah

Nasional
FPI, PA 212, dan GNPF Ulama Dukung Hakim MK Bikin Putusan yang Seadil-adilnya

FPI, PA 212, dan GNPF Ulama Dukung Hakim MK Bikin Putusan yang Seadil-adilnya

Nasional
Bantah Putusan Bocor, MK: Rapat Hakim Masih sampai Minggu

Bantah Putusan Bocor, MK: Rapat Hakim Masih sampai Minggu

Nasional
Jaga Independensi, MK Sembunyikan Karangan Bunga yang Sindir Sengketa Pilpres 2024

Jaga Independensi, MK Sembunyikan Karangan Bunga yang Sindir Sengketa Pilpres 2024

Nasional
Busyro Muqqodas Harap Putusan MK Soal Sengketa Pilpres Berpihak pada Etika Kenegaraan

Busyro Muqqodas Harap Putusan MK Soal Sengketa Pilpres Berpihak pada Etika Kenegaraan

Nasional
Kemenlu: Indonesia Sesalkan DK PBB Gagal Sahkan Resolusi Keanggotaan Penuh Palestina

Kemenlu: Indonesia Sesalkan DK PBB Gagal Sahkan Resolusi Keanggotaan Penuh Palestina

Nasional
Yusril Prediksi MK Tak Diskualifikasi Gibran

Yusril Prediksi MK Tak Diskualifikasi Gibran

Nasional
Soal Besaran Tunjangan ASN yang Pindah ke IKN, Pemerintah Tunggu Jokowi

Soal Besaran Tunjangan ASN yang Pindah ke IKN, Pemerintah Tunggu Jokowi

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com