JAKARTA, KOMPAS — Sekitar 22 juta penduduk Indonesia akan kesulitan mengakses layanan publik jika sampai 30 September 2016 belum melakukan perekaman data kependudukan untuk pembuatan KTP elektronik. Ironisnya, kini sejumlah daerah sulit memperoleh blangko KTP elektronik.
Layanan publik yang sulit diakses itu antara lain layanan kesehatan BPJS, pendaftaran kartu perdana telepon seluler, pembuatan surat izin mengemudi, serta surat izin usaha ataupun izin perkapalan. Hal ini karena semua layanan publik itu berbasis nomor induk kependudukan (NIK).
Bahkan, mereka yang akan mendaftarkan pernikahannya ke catatan sipil juga bisa terhambat. Sebab, untuk menikah, seseorang harus memiliki KTP.
Kondisi ini terjadi karena, menurut Direktur Jenderal Administrasi Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Zudan Arif Fakrulloh, dari 182,5 juta penduduk Indonesia yang wajib memperoleh KTP elektronik (e-KTP), ada sekitar 22 juta yang belum merekam data untuk membuat e-KTP.
Sementara e-KTP yang sudah dicetak sampai 22 Juli 2016 ada 156,1 juta lembar.
(Baca: Tanpa E-KTP Terancam Tak Dapat Layanan Publik, Warga Diminta Segera "Input" Data)
"Seharusnya semua warga sudah menggunakan e-KTP sejak 1 Januari 2015. Namun, batas akhir perekaman data sudah diundur sampai 30 September 2016. Jika belum merekam data sampai tanggal itu, data penduduk akan dinonaktifkan, diblok," kata Zudan saat penandatanganan kerja sama antara Kementerian Dalam Negeri dan 10 Bank Perkreditan Rakyat di Jakarta, Kamis (18/8/2016).
Seusai acara, Zudan menyebutkan, konsekuensi dari penonaktifan data kependudukan adalah orang itu akan kesulitan mengakses layanan publik yang berbasis NIK.
Warga yang data kependudukannya diblokir bisa mengaktifkan kembali data kependudukannya dengan mendatangi dinas kependudukan di kabupaten/kota setempat. Kecamatan atau kelurahan tidak memiliki akses untuk hal ini.
(Baca: Kemendagri Pastikan Layanan Input Data untuk E-KTP Gratis)
"Warga itu cukup mengisi formulir untuk mengaktifkan kembali data kependudukannya. Semua layanan ini gratis. Kami hanya meminta penduduk segera merekam data karena ini untuk kepentingan warga sendiri agar pelayanan (publik) menjadi lancar," kata Zudan.
Pengajar Kebijakan Publik Universitas Airlangga, Surabaya, Gitadi Tegas Supramudyo, menilai, pemberian hukuman bagi warga yang belum melakukan perekaman hingga akhir September terlalu gegabah dan terlampau dini.
Sebab, keterlambatan perekaman bisa jadi tidak hanya karena kesalahan masyarakat, tetapi bisa juga akibat kesalahan teknis dan kendala geografis.
"Sebaiknya pemerintah memetakan terlebih dahulu wilayah dengan jumlah warga belum merekam e-KTP yang sangat banyak. Dilihat dahulu apa masalahnya dan diatasi. Masih ada satu bulan untuk mengoptimalkan upaya perekaman data sebelum memutuskan kebijakan lain. Sanksi bisa saja diberlakukan sesuai hasil pemetaan yang dilakukan," ujar Gitadi.