JAKARTA, KOMPAS.com - Tim Evaluasi Penanganan Terorisme (Tim 13) yang dibentuk oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bersama beberapa organisasi masyarakat sipil telah melakukan pemantauan dan menyimpulkan beberapa poin terkait persoalan terorisme di Poso.
Salah satu anggota Tim 13, Busyro Muqoddas menuturkan bahwa dari hasil evaluasi disepakati Tim 13 akan meningkatkan sinergitas dengan Kepolisian RI (Polri) dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Hal tersebut dilakukan agar penyelesaian konflik Poso bisa diselesaikan secara komprehensif, efektif, dan efisien.
Tim 13, kata Busyro, akan turun di lapangan guna membujuk 16 anggota kelompok Santoso yang masih berada di hutan untuk menyerahkan diri agar tidak perlu lagi diselesaikan melalui kontak senjata dengan aparat keamanan.
"Tim ini akan jadi mediator agar 16 anggota kelompok Santoso yang tersisa bisa turun tanpa tekanan dan penyiksaan. Hal ini merupakan bagian dari sinergitas masyarakat sipil dengan pemerintah," ujar Busyro saat memberikan keterangan di kantor Komnas HAM, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (9/8/2016).
(Baca: Ini Kronologi Penyerahan Diri Dua Anak Buah Santoso)
Busyro menjelaskan, beberapa waktu lalu sejumlah anggota tim turun ke lapangan supaya mendapat gambaran apa yg sesungguhnya masalah substantif di tengah masyarakat Poso.
Mereka melakukan serangkaian pemantauan melalui pendekatan antorpologi dengan mengunjungi rumah keluarga istri pertama Santoso, orang tua Basri dan beberapa keluarga anggota kelompok Santoso yang masih hidup.
Selain itu, tim juga mendatangi tokoh-tokoh agama untuk berdialog dan menggali lebih dalam mengenai persoalan di Poso.
(Baca: Polisi: Anggota Jaringan Santoso Serahkan Diri karena Strategi Operasi Berubah)
Dari hasil pemantauan, kata Busyro, secara garis besar bisa disimpulkan bahwa kelompok Santoso lahir dari sisa-sisa konflik berbasis agama yang pernah terjadi di Poso pada tahun 1998, 2000 dan 2007.
Konflik pun berubah arah, dari konflik horizonal menjadi vertikal, antara masyarakat yang bersimpati dengan kelompok Santoso dengan aparat keamanan.
Menurut Busyro, hal tersebut terjadi karena selama ini terdapat aksi kekerasan yang dilakukan oleh aparat dalam menangani kelompok Santoso.
Oleh sebab itu, Busyro berpendapat persoalan Poso tidak bisa diselesaikan hanya dengan operasi militer, namun harus dilakukan melalui pendekatan kemanusiaan.
"Masyarakat Poso punya harapan untuk menyudahi masalah ini terutama setelah 18 tahun mengalami situasi mencekam pasca-konflik. Mereka sudah lelah dengan kekerasan yang tidak menghasilkan solusi. Kalau tidak selesai mereka akan menjadi masyarakat yg sakit," kata Busyro.
(Baca: Sukses Tumpas Kelompok Santoso, 741 Personel Brimob Ditarik dari Poso)
Tim Evaluasi Penanganan Terorisme sendiri beranggotakan 13 orang, yakni M Busyro Muqoddas, Bambang Widodo Umar, KH Salahuddin Wahid, Trisno Raharjo, Ray Rangkuti, Dahnil Anzar Simanjuntak, Haris Azhar, Siane Indriani, Hafid Abbas, Manager Nasution, Franz Magnis Suzeno, Magdalena Sitorus, dan Todung Mulya Lubis.
Komisioner Komnas HAM Hafid Abbas mengatakan tim ini terbentuk sesuai amanat Undang-undang HAM No 39/1999 dan sejumlah undang-undang terkait lainnya.
Selain itu, juga panduan penanganan terorisme yang dipublikasikan oleh Dewan I-LAM PBB (Fact Sheet No 32) yang menekankan bahwa penanangan terorisme harus dilakukan dengan menjunjung tinggi prinsip-prinsip universal hak asasi manusia.