JAKARTA, KOMPAS.com - Suster Laurentina berdiri terdiam di depan Istana Negara. Tangannya memegang sebuah lilin yang sumbunya masih belum menyala. Tidak berapa lama, Suster Laurentina berjalan mendekati sekumpulan lilin yang sudah lebih dulu menyala.
Dengan hati-hati dia menyalakan lilin miliknya kemudian meletakannya di antara lilin-lilin itu.
"Itu lilin untuk Merry Utami. Kabarnya dia akan dieksekusi mati malam ini," ujarnya, Kamis malam (28/7/2016).
Suster Laurentina dan puluhan orang lainnya melakukan aksi damai dengan menyalakan 1000 lilin di depan Istana Negara sebagai bentuk protes terhadap rencana pemerintah melaksanakan eksekusi mati tahap 3.
Di antara daftar 14 nama terpidana mati kasus narkoba yang akan dieksekusi, ada nama Merry Utami, seorang buruh migran yang dijatuhi hukuman mati pada tahun 2003.
(Baca: Terpidana Mati Merry Utami Tempati Sel Isolasi di Nusakambangan)
Merri tertangkap membawa heroin sebanyak 1,1 kilogram oleh petugas bandara Soekarno Hatta saat baru tiba dari berlibur di Nepal bersama kekasihnya seorang warga negara Nigeria.
Suster Laurentina yang sehari-hari aktif di Jaringan Peduli Buruh Migran Keuskupan Agung Jakarta, merasa tergerak untuk menyampaikan rasa kekecewaannya terhadap pemerintah yang tetap melaksanakan eksekusi mati terhadap Merry Utami.
Menurut dia, seberat apa pun kesalahan yang telah diperbuat seseorang, tetap tidak layak untuk dihukum mati. Negara tidak memiliki hak untuk mencabut nyawa seseorang.
Dia pun berharap Presiden Jokowi memberikan grasi terhadap Merry Utami dan 14 terpidana mati lainnya.
(Baca: Terpidana Mati Merry Utami Kirim Surat ke Jokowi, Ini Isinya..)
"Ya saya hanya bisa berharap pemerintah mau memberikan grasi kepada mereka," kata dia.
Suster Laurentina berpendapat pemerintah seharusnya menghapus kebijakan hukuman mati. Dia menilai bentuk hukuman tersebut tidak manusiawi. Gereja Katolik pun, kata Suster Laurentina, telah menyatakan menolak keras hukuman mati.
Ketua Presidium Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) Mgr. Ignatius Suharyo pernah menegaskan pernyataan tersebut.
Dalam ensiklik Evangelium Vitae yang diterbitkan tahun 1995, Paus Yohanes Paulus II menghapuskan status persyaratan untuk keamanan publik dari hukuman mati dan menyatakan bahwa dalam masyarakat modern saat ini, hukuman mati tidak dapat didukung keberadaannya.
(Baca: Istana: Tak Mudah Merespons Permintaan Penangguhan Hukuman Mati)
Gereja Katolik menolak hukuman mati karena Gereja berpandangan setiap orang harus menghormati hidup manusia. Alasan kedua, menurut Mgr. Ignatius, hidup adalah suci karena hidup merupakan hak asasi manusia yang diberikan langsung oleh Tuhan.
"Gereja Katolik dengan tegas menolak hukuman mati. Saya tergerak untuk memberikan rasa solidaritas saya kepada mereka yang akan dieksekusi karena hukuman itu tidak manusiawi," ungkap Suster Laurentina.