JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengungkapkan dirinya tidak ingin menjadi ketua pantia seleksi (Pansel) komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Menurut Tjahjo, latar belakangnya sebagai kader partai politik dapat menciptakan kesan kurang baik di mata publik jika mengemban jabatan tersebut.
"Penyiapan pansel pemilihan komisioner KPU dan Bawaslu, saya menyarankan jangan saya ketuanya, kesannya orang 'wah dari parpol'," kata Tjahjo di Kemendagri, Jakarta Pusat, Senin (11/7/2016).
Menurut Tjahjo, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly pun bersikap sama: menolak jadi ketua pansel KPU.
"Iya sepakat. Kalau dua-duanya (Tjaho dan Yasonna) masuk (pansel) geger nanti (masyarakat)," kata dia.
Tjahjo menyarankan agar ketua dan panitia pansel diisi kalangan akademisi. Hal itu guna menjaga marwah lembaga penyelenggara pemilu yang jauh dari kesan keberpihakan.
Tjahjo menanbahkan, jika pun harus ada perwakilan dari Kemendagri, maka bisa diwakili direktorat jenderal. "Ambilkan dari UGM, Unpad, UI, dari usulan dari DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) siapa, lebih netral. Kemendagri biar dirjennya," kata dia.
Seleksi calon komisioner KPU dan Bawaslu sedianya digelar akhir Oktober 2016 oleh Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Ditjen Polpum Kemendagri).
Pemilihan calon komisioner KPU dan Bawaslu diatur dalam Undang-undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang penyelenggara pemilu. Disebutkan bahwa komisioner yang baru harus diseleksi enam bulan sebelum masa kerja komisioner KPU dan Bawaslu saat ini berakhir.
Namun untuk memilih komisioner itu terlebih dahulu perlu dibentuk panitia seleksi. Hal itu sesuai dengan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilu.