JAKARTA, KOMPAS.com — Salah seorang penyintas dalam tragedi kekerasan periode 1965-1966, Putu Oka Sukanta, menilai pembahasan masalah hak asasi manusia (HAM) tidak mengenal batas wilayah teritorial negara maupun suku bangsa.
"Masalah HAM adalah masalah borderless (tanpa batas). Kenapa orang ketika bicara bisnis bisa borderless. Kenapa ketika bicara HAM harus ada sekat," kata Putu saat dihubungi, Jakarta, Jumat (29/4/2016).
Hal itu disampaikan Putu menanggapi Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Pandjaitan. Luhut mengatakan, dirinya tidak menyukai proses pengadilan tragedi 1965 di Den Haag, Depok, Rabu (20/4/2016).
(Baca: Soal Tragedi 1965, Luhut Tak Suka Indonesia Diadili di Negara Lain)
Menurut Luhut, Pengadilan Rakyat atau People's Tribunal tidak perlu dilakukan. Upaya mencari fakta yang terjadi pada tahun 1965 dapat dilakukan di dalam negeri. Putu menduga Luhut tidak melihat HAM dalam konteks era globalisasi.
Di dalam pengadilan itu, putusan sela Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) tentang peristiwa tahun 1965 memutuskan adanya pengakuan atas terjadinya pelanggaran HAM berat.
Pada era globalisasi, menurut Putu, peristiwa yang terjadi di suatu negara dapat segera diketahui oleh negara lain, apalagi masalah HAM.
(Baca: Pak Luhut dan Pak Sintong, Korban 1965 Bukan soal Angka, melainkan soal Manusia)
"Jangan mengira masalah HAM di Indonesia ini tidak diketahui oleh orang dari negara lain. Orang luar juga concern mengenai penyelesaian HAM di Indonesia," ucap Putu.
Menurut Putu, upaya membawa masalah HAM pada tahun 1965 ke Den Haag merupakan salah satu langkah yang ditempuh karena tidak kunjung mendapat penyelesaian di Indonesia.