Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Haris Azhar, mempertanyakan langkah kejaksaan yang seakan ingin meniadakan proses hukum dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat itu.
"Kami minta dokumennya. Apa rujukan rekonsiliasi tersebut? Jangan sampai hanya buang-buang waktu dan menunda-nunda proses hukum yang sebenarnya itu yang kami minta," ujar Haris di Kantor KontraS, Jalan Kramat II, Senen, Jakarta Pusat, Rabu (2/3/2016).
(Baca: Kontras Nilai Jokowi Tak Punya Konsep Jelas untuk Selesaikan Pelanggaran HAM Berat)
Menurut dia, rekonsiliasi sama sekali tidak mendasar dan tanpa rujukan. Oleh sebab itu, konsep rekonsiliasi yang tengah dilakukan kejaksaan pun tidak jelas.
Hal serupa diungkapkan Payan Siahaan, ayahanda dari salah satu korban penculikan paksa 1998, Ucok Munandar Siahaan.
Payan berpendapat, rekonsiliasi harus lebih dulu disertai dengan rekomendasi dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ke pemerintah untuk segera melakukan pencarian terhadap korban-korban penculikan paksa tersebut. Jika korban belum ditemukan, maka proses rekonsiliasi dinilai tak bisa dilakukan.
(Baca: Aktivis Kamisan Tuntut Jokowi Rilis Keppres Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc)
"Berdasarkan penyelidikan Komnas HAM, mereka masih hilang. Bagaimana mau rekonsiliasi kalau mereka enggak ketahuan di mana?" kata Payan.
KontraS sebelumnya melayangkan surat kepada Kejaksaan Agung untuk meminta tindakan konkret atas penyelesaian kasus HAM berat.
Kemudian, pada 23 Februari lalu, pejabat pengelola informasi dan dokumentasi Kejaksaan Agung memberikan surat balasan yang pada intinya menyatakan bahwa Kejaksaan Agung mengupayakan penyelesaian kasus-kasus tersebut melalui rekonsiliasi karena alat bukti sulit ditemukan, dan pelaku dianggap sudah tidak ada (meninggal dunia).
Setidaknya, ada tujuh kasus pelanggaran HAM berat yang sedang ditangani kejaksaan. Ketujuh kasus itu adalah Trisakti, Semanggi 1, Semanggi 2, Wasior, Talangsari, kasus 1965, dan penembakan misterius (petrus).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.