JAKARTA, KOMPAS.com - Beberapa pasal dalam UU Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dikhawatirkan menimbulkan penyimpangan kekuasaan aparat.
Sampai saat ini masih simpang siur tentang bagaimana laporan intelijen bisa digunakan sebagai bukti permulaan.
Definisi laporan intelijen dinilai belum jelas, apakah data intelijen dari Badan Intelijen Negara atau hanya dari intelijen kepolisian dan Kejaksaan yang bisa digunakan dalam proses peradilan.
Banyak pihak mengkhawatirkan penggunaan data intelijen sebagai alat bukti akan berpotensi melanggar HAM seorang terduga teroris.
Peneliti dari International Centre for Counter Terrorism (ICCT), Christophe Paulsen, mengatakan, upaya negara memberantas terorisme harus tetap berpangkal pada supremasi hukum dan perlindungan Hak Asasi Manusia.
"Memang harus seimbang antara memperluas kekuasaan otoritas tertentu, di satu sisi masih menghormati tuntutan Hak Asasi Manusia," kata Paulsen, dalam diskusi dengan anggota Badan Legislasi DPR RI, Jakarta, Rabu (17/2/2016).
Terkait penggunaan data intelijen, ia mencontohkan sistem yang telah diterapkan di Belanda.
Menurut pemaparannya, Belanda memiliki jaksa penuntut khusus yang berurusan dengan penggunaan bukti-bukti dari badan intelijen.
Jaksa tersebut memiliki wewenang untuk menentukan apakah laporan intelijen dapat digunakan sebagai bukti di pengadilan atau tidak.
Selain itu, pengajuan data intelijen sebagai alat bukti harus melalui mekanisme hukum yang ketat. Di pengadilan, seorang tersangka teroris bisa melakukan pembelaan terhadap data intelijen yang diajukan sebagai bukti.
"Itu bisa menjadi tanda bahwa anda memiliki rasa hormat terhadap hak asasi manusia," ujar Paulsen.
Sementara itu, menurut Ketua Badan legislasi DPR RI, Supratman Andi Agtas, UU Antiterorisme belum mengatur secara jelas apakah bukti intelijen bisa digunakan sebagai alat bukti di persidangan.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa hal tersebut akan menjadi bahan pembahasan dalam revisi UU Antiterorisme.
"Kita akan lihat dulu apakah dengan informasi intelijen akan terjadi pelanggaran HAM. Itu akan menjadi bahan pertimbangan," kata Supratman.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.