Kritik itu juga dibarengi dengan penolakan, baik dari masyarakat sipil maupun internal KPK.
Usulan tersebut di antaranya, pertama, pembentukan dewan pengawas untuk mengawasi kinerja KPK. Kedua, penyadapan yang dilakukan KPK harus seizin dewan pengawas.
(Baca: ICW: Belum Ada Kebutuhan Bentuk Dewan Pengawas KPK)
Ketiga, KPK tak diperbolehkan mengangkat penyidik dan penyelidik sendiri. Dan keempat, KPK diberi wewenang untuk menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan.
Staf Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch, Lalola Easter, menilai, agenda revisi UU KPK justru menunjukkan upaya memperlemah KPK.
Ia mempertanyakan belum adanya naskah akademik revisi UU KPK.
"Pertama yang harus ditanya, ada atau tidak naskah akademik revisi UU KPK? Karena naskah akademik itu sifatnya mandatory atau wajib. Sampai sejauh ini saya belum melihat ada naskah akademik. Jangan-jangan ini ada inisiatif entah dari siapa yang ingin melemahkan KPK," ujar Lalola saat ditemui di Kantor ICW, Selasa (2/2/2016).
(Baca: Ini Konsep Dewan Pengawas yang Diinginkan DPR)
Dewan pengawas tak mendesak
Selain itu, lanjut dia, belum ada kebutuhan mendesak untuk membentuk dewan pengawas KPK.
Jika pembentukan dewan pengawas dipaksakan, ICW khawatir akan muncul persoalan baru yang menghambat kerja KPK.
"Seharusnya tidak perlu membentuk dewan pengawas, tetapi dengan memperkuat kedudukan dari dewan penasehat yang ada sekarang. Pemerintah bisa saja membuat peraturan untuk memperkuat dewan penasehat dalam konteks penguatan kelembagaan KPK," ujarnya.
Pembentukan dewan pengawas juga dinilai tidak relevan karena saat ini KPK sudah diawasi banyak pihak.
Selama ini, KPK diawasi oleh Bagian Pengawasan internal dan Penasehat KPK, Komite Etik KPK maupun dari eksternal yaitu DPR dan Badan Pemeriksa Keuangan.