Draf revisi UU tersebut masih memuat pemidanaan yang hukumannya lebih berat dibandingkan UU KUHP.
Salah satunya ada pada pasal 27ayat 3 yang mengatur soal pencemaran nama baik.
"Akhirnya pasal 27 ayat 3 tetap ada dalam draf revisi. Padahal, kami dari awal sudah bersuara agar pemerintah tidak lagi memasukan duplikasi pasal yang ada di KUHP ke dalam ITE," ujar Kepala Divisi Riset dan Jaringan LBH Pers Asep Komarudin saat berkunjung ke Redaksi Kompas.com, Selasa (29/12/2015).
Asep mengungkapkan, sejak diterapkan, pasal pencemaran nama baik pada UU ITE telah menimbulkan banyak "korban".
Setidaknya, ada 134 kasus yang menjerat sejumlah orang dengan pasal tersebut.
Pemahaman aparat penegak hukum yang tak bisa membedakan ruang privat dan publik dianggap semakin memperparah penggunaan pasal karet itu.
"Di dalam penjelasan Undang-undang ini, tidak ada pembedaan mana yang di sarana publik dan privat, sehingga semuanya sama rata," ujar Asep.
Dengan penyamarataan ruang privat dan publik, tidak jarang sejumlah kasus ditemukan LBH Pers. Ia mencontohkan, ada warga yang dijerat pidana hanya karena percakapannya pada sebuah grup chat Line.
Yang paling terkenal, kasus Prita Mulyasari yang dijerat pidana karena e-mail yang sebenarnya dia tujukan kepada saudara dan pihak rumah sakit tersebar di jaringan mailing list.
Pembungkaman
Draf revisi UU ITE pemerintah juga dinilai menurunkan ancaman pidana yang tertera pada pasal 45 ayat 1.
Jika sebelumnya setiap orang yang dianggap memenuhi unsur pencemaran nama baik akan dijerat pidana penjara paling lama 6 tahun, kini diturunkan menjadi 4 tahun.
Menurut Asep, tujuan dari pemerintah menurunkan pidana itu agar selama proses penyidikan aparat penegak hukum tidak menahan tersangka karena ancaman hukumannya di bawah 5 tahun.
Namun, keringanan hukuman ini dianggap tidak signfikan. Pasalnya, di dalam UU KUHP juga tercantum pidana pencemaran nama baik yang lebih ringan dibandingkan UU ITE yakni 9 bulan.
"Di dalam UU KUHP bahkan ada klasifikasi pencemaran nama baik, sementara di ITE tidak," kata Asep.
Selain itu, Asep menyebutkan, pada draf UU ITE tidak lagi ada syarat penegak hukum mendapatkan izin pengadilan dalam menahan seseorang.
"Jadi lebih mudah menangkap orang dengan tuduhan pasal ITE. Draft Ini adalah upaya pembungkaman kritik-kritik publik," ungkap dia.
Draf ini sudah resmi diserahkan kepada DPR. Para aktivis pemantau revisi UU ITE berharap agar DPR berhati-hati dalam membahas pasal-pasal yang dianggap bisa merusak kebebasan masyarakat.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.