JAKARTA, KOMPAS.com - Wacana hukuman kebiri bagi pelaku kekerasan seksual pada anak terus menuai pro dan kontra.
Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Harkristuti Harkrisnowo mengatakan, hukuman tersebut bisa jadi salah sasaran dan dikhawatirkan menjadi bumerang.
"Misalnya, kalau orang enggak sakit kanker dikasih obat kanker. Kan akibatnya bisa menjadi bumerang," ujar Harkristuti di Gedung FHUI, Depok, Kamis (12/11/2015).
Ia memaparkan, seringkali pelaku kekerasan seksual dianggap memiliki abnormal sex drive atau libido seks yang tinggi dan dengan dorongan tidak normal.
Padahal, belum tentu semua kasus kekerasan seksual dilakukan oleh pelaku yang memiliki abnormal sex drive.
Ia menuturkan, variabel yang harus diatur jika hukuman kebiri dijadikan peraturan akan sangat kompleks.
"Pertanyaannya, untuk kekerasan seks yang mana? Lalu untuk pelaku yang mana? First offender? Penanggung jawab programnya nanti siapa? Pemantaunya siapa?" kata Harkristuti.
Ia menambahkan, secara umum, penanganan kekerasan seksual mengutamakan bagaimana mencegah pengulangan kejadian yang sama di masa depan.
Jika mengacu pada beberapa negara lain, menurut dia, tidak hanya hukuman kebiri dan pidana penjara, tapi metode-metode terapi serta edukasi ke masyarakat juga dilakukan.
Harkristuti memaparkan, saat ini di Eropa pemberlakuan kebiri hanya dilaksanakan di Jerman dan Republik Ceko.
Namun, hukuman itu tidak dalam konteks penghukuman, melainkan pengurangan abnormal sex drive.
"Dia bisa disembuhkan atau at least dikurangi. Asumsinya selalu abnormal sex drive," tutur dia.
Harkristuti menambahkan, mengutip pernyataan dari beberapa filsuf, hukuman pidana seringkali tidak membuat seseorang lebih baik. Namun, hukuman justru membuat orang lebih licik dan lebih pandai dalam melakukan kejahatan.
Meski begitu, jika hukuman tersebut dapat dibuktikan bisa menghasilkan sesuatu hal yang lebih baik daripada hukuman tidak dilakukan, maka hukuman tersebut boleh saja dilakukan.
"Apa sih common benefit-nya, itu harus dibuktikan," ujar dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.