Pola kerja KPK saat ini—kecuali dalam operasi tangkap tangan—jeda waktu penetapan seseorang sebagai tersangka dan penahanannya relatif memakan waktu yang lama. Sebut saja Andi Mallarangeng dan Anas Urbaningrum yang kurang lebih setahun kemudian baru ditahan setelah yang bersangkutan ditetapkan sebagai tersangka. Demikian pula Hadi Purnomo yang telah ditetapkan tersangka sejak 21 April 2014 dan Suryadarma Ali yang telah ditetapkan tersangka sejak 22 Mei 2014 sampai saat ini masih menghirup udara bebas. Pola kerja yang demikian tidaklah bertentangan dengan KUHAP, tetapi cenderung melanggar HAM sebagaimana yang dijunjung tinggi dalam due process of law. Stigma tersangka pada diri seseorang membuatnya tersandera melakukan tindakan apa pun, termasuk diangkat dalam jabatan publik, padahal belum tentu putusan pengadilan akan menyatakan dia bersalah.
Membalik pola
Alasan klise yang selalu diutarakan adalah KPK kekurangan penyidik dan KPK baru melakukan penahanan terhadap tersangka setelah berkas perkara mencapai lebih dari 60 persen untuk dilimpahkan ke pengadilan. Mengapa tak dibalik?
Ketika seseorang diduga korupsi, KPK dapat melakukan pemeriksaan terhadap saksi terlebih dulu, termasuk calon tersangka, untuk memverifikasi bukti dokumen yang ada. Sembari melakukan penyidikan, KPK dapat minta cekal kepada orang yang diduga korupsi tanpa menetapkan status tersangka. Setelah berkas perkara matang mencapai lebih dari 60 persen, baru kemudian status tersangka ditetapkan dan diikuti dengan penahanan. Bukankah berdasarkan Pasal 21 Ayat (4) KUHAP terkait syarat obyektif penahanan, KPK dapat melakukan penahanan sesegera mungkin karena korupsi adalah kejahatan yang diancam lebih dari 5 tahun penjara?
Pola kerja yang demikian lebih elegan karena setiap orang yang diberi status tersangka tentu mengharapkan sesegera mungkin dihadapkan di persidangan sehingga memperoleh kepastian hukum mengenai benar-salahnya orang itu dan tidak tersandera dengan status itu. Keberhasilan KPK yang mencapai 100 persen dalam menangani perkara korupsi perlu dijadikan peringatan dini kepada setiap orang yang ditetapkan sebagai tersangka. Namun, di sisi lain, ada fenomena lain di Pengadilan Tipikor yang berkembang dewasa ini dan cukup memprihatinkan dalam penegakan hukum.
Hakim di Pengadilan Tipikor lebih takut terhadap opini publik daripada fakta di persidangan. Artinya, penjatuhan pidana oleh hakim di Pengadilan Tipikor bisa jadi karena buktinya valid, tetapi juga tak jarang karena hakim takut berurusan dengan Komisi Yudisial manakala memutus bebas atau melepaskan terdakwa dari segala tuntutan hukum. Dalam konteks yang demikian, kiranya apa yang dikatakan oleh Jerome Skolnick dalam Justice Without Trial relevan bahwa hukum acara pidana dibuat dengan maksud mengontrol para penegak hukum dari tindak sewenang-wenang.
Eddy OS Hiariej
Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada