KOMPAS.com
- Jumat, 16 Maret 2012, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri pergi ke Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat untuk menemui kadernya. Perjalanan dua hari itu dilakukan di tengah kesibukan menghadapi pemilihan gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta periode 2012-2017, di mana pendaftaran pasangan calon peserta akan ditutup pada 19 Maret 2012.

Dengan alasan memantau perkembangan terkait Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta, Megawati meminta Sekjen PDI-P Tjahjo Kumolo dan Ketua PDI-P Puan Maharani, yang juga putrinya, tetap di Jakarta. Ketua PDI-P Bambang Wuryanto dan Wakil Sekjen PDI-P Erico Sotarguda, keduanya dikenal dekat dengan Puan, juga tak ikut dalam rombongan.

Suasana Pilkada DKI Jakarta amat terasa di perjalanan itu. Dalam pertemuan dengan warga di rumah dinas Gubernur NTT pada Jumat malam, Megawati tampak lama berbicara di telepon. Ketua DPP PDI-P Nusyirwan hanya mengangguk saat ditanya apakah tema pembicaraan Megawati di telepon itu tentang pilkada?

Ketika di NTB, Sabtu keesokan harinya, terdengar kabar, Partai Demokrat mengusung Fauzi Bowo (Foke) dan Adang Ruchiatna di Pilkada DKI Jakarta. Adang adalah anggota DPR dari PDI-P. Saat ditanya tentang kabar itu, Megawati menjawab, ”Terserah yang ber-statement. Yang pasti, partai punya aturan dan sebelum ada rekomendasi resmi, belum ada yang diusung.”

Pada Senin, 19 Maret 2012, Megawati ternyata memutuskan mengusung Joko Widodo atau Jokowi, yang saat itu Wali Kota Solo, Jawa Tengah. Sesuatu yang saat itu cukup mengagetkan, bahkan berbeda dengan pandangan sejumlah elite PDI-P saat itu.

Namun, Jokowi ternyata tak hanya mampu memenangi Pilkada DKI Jakarta. Sosoknya juga menjadi ikon baru, di tengah kesumpekan masyarakat dengan tokoh-tokoh lama yang mungkin akan kembali bertarung di Pemilihan Presiden 2014. Berdasarkan survei Kompas, Jokowi punya elektabilitas tertinggi dalam bursa capres.

Intuisi politik

Di tengah sosoknya yang sering disebut keras dan teguh memegang prinsip, Megawati juga dikenal memiliki intuisi politik yang kuat dan cerdas memilih pembantu. Sejumlah elite politik saat ini, seperti Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wakil Presiden Boediono, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, dan Menko Perekonomian Hatta Rajasa, adalah menteri saat Megawati menjadi presiden pada periode 2001-2004.

Sejumlah tokoh baru juga berhasil dimunculkan Megawati di partainya, seperti Gubernur Jateng Ganjar Pranowo dan Wakil Ketua DPR Pramono Anung.

KOMPAS IMAGES/VITALIS YOGI TRISNA Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo

Kemunculan Jokowi belakangan ini tidak hanya menunjukkan masih kuatnya intuisi politik Megawati, tetapi juga menimbulkan pertanyaan, sampai sejauh mana Megawati mengizinkan Jokowi melangkah? Sebab, seperti disampaikan oleh M Qodari dari Indo Barometer, nasib politik Jokowi sedikit banyak ditentukan oleh Megawati.

”Peluang Jokowi di Pilpres 2014 akan lebih besar jika lewat PDI-P. Selama ini, Jokowi menarik perhatian publik, antara lain, karena dinilai otentik dan tidak ambisius. Otentisitas Jokowi akan berkurang dan dia akan dinilai ambisius jika maju dari partai lain atau sekarang sudah menyatakan berniat maju di pilpres,” ujar M Qodari.

Namun, Megawati dan PDI-P belum memutuskan capres untuk diusung pada Pilpres 2014. Tjahjo Kumolo hanya mengatakan, sesuai dengan hasil Rapat Kerja Nasional (Rakernas) I partainya pada 2011, capres dan cawapres PDI-P akan ditentukan oleh Megawati dan akan diumumkan pada saat yang tepat. Dia juga memastikan, Rakernas III partainya pada 6-8 September 2013 di Jakarta juga tidak akan membahas capres dan cawapres.

PDI-P agaknya berpandangan, mengumumkan capres ketika pilpres masih sekitar 10 bulan lagi dapat memunculkan sejumlah persoalan, mulai dari berkurangnya ”keleluasaan” memilih strategi politik, sosok yang disebut akan lebih mudah menjadi sasaran tembak lawan politik, hingga masalah soliditas partai jika sosok yang dipilih ternyata bukan Megawati.

Pengalaman pada Pilpres 2009, yaitu ketika Megawati sudah diputuskan sebagai capres sejak kongres PDI-P pada 2005, agaknya menjadi salah satu pelajaran.

Akhirnya, nasib Jokowi di Pilpres 2014 mungkin harus menunggu keputusan Megawati. Intuisi dan kematangan politik Megawati akan kembali diuji. (M HERNOWO)