TEPATNYA pada 9 Desember 2003, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mendeklarasikan konvensi melawan korupsi atau United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).
Momentum penting itu kemudian menjadi titik tolak bagi diperingatinya Hari Antikorupsi Sedunia.
Indonesia sendiri telah meratifikasi UNCAC menjadi Undang-undang nomor 7 tahun 2006, sebagai bentuk komitmen kuat untuk bersama dalam melawan extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa ini.
Bukan tanpa alasan UNCAC perlu dideklarasikan dan dunia memperingati Hari Antikorupsi. Faktanya, kemiskinan dan ketertinggalan sejumlah bangsa, ditandai dengan tingginya angka korupsi.
Korupsi telah merampas upaya pemberantasan kemiskinan. Karena itu pula, rendahnya Corruption Perception Index/Indeks Persepsi Korupsi (IPK) suatu negara selalu berbanding lurus dengan kemiskinan dan ketertinggalannya negara tersebut.
Sebut saja Somalia, Suriah, Sudan Selatan, Afganistan, Venezuela, adalah negara-negara yang berada di posisi teratas terkorup versi Transparency International, dan merupakan negara-negara yang miskin atau tertinggal secara ekonomi.
Indonesia walaupun data dari Transparency International Indonesia (TII) skor IPK-nya fluktuatif, namun peringkatnya masih tergolong rendah.
Misalnya, pada 2020 IPK Indonesia 37, Kemudian pada 2021 skor IPK Indonesia adalah 38, naik satu poin.
Namun pada 2022 lalu menempati angka 34, turun empat poin, menjadikan Indonesia berada di posisi 110 dari 180 negara yang disurvei, terburuk di era reformasi, juga turun di level ASEAN.
Sementara pada 2023, Indonesia hanya mendapatkan skor 36, naik dua poin dari tahun sebelumnya, dan menempatkan Indonesia di peringkat ke-102 dari 180 negara yang disurvei.
Dari pemeringkatan tersebut, menunjukkan Indonesia ada pada angka atau tingkat yang mengkhawatirkan. Sebab interval pemeringkatan adalah, dari skala 0 (sangat korup) hingga 100 (sangat bersih).
Ini bukan hanya angka statistik tanpa arti, melainkan refleksi dari persoalan yang lebih dalam. Korupsi, dengan segala dampak dan konsekuensinya, telah menjadi ibarat batu sandungan dalam perjalanan menuju kemajuan Indonesia.
Data juga menunjukan bahwa perilaku koruptif telah menjadi semacam budaya atau berkelindan dalam kultur keseharian bangsa. Boleh dikata tiada hari tanpa korupsi, terutama suap-menyuap, menjadi hal lumrah.
Misalnya dari 1.479 kasus korupsi sepanjang 2004 hingga November 2023 yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lebih dari 65 persen adalah kasus penyuapan dan gratifikasi.
Bila mau dirinci, sebesar 65,34 persen merupakan kasus penyuapan, 22,36 persen merupakan kasus pengadaan barang dan jasa, 3,99 persen kasus pencucian uang, 3,85 persen kasus penyalahgunaan anggaran, 1,89 persen pemerasan, 1,69 persen perizinan, dan 0,88 persen perintangan penyidikan.