Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Moh. Suaib Mappasila
Staf Ahli Komisi III DPR RI / Konsultan

Sekjen IKAFE (Ikatan Alumni Fak. Ekonomi dan Bisnis) Universitas Hasanuddin. Pemerhati masalah ekonomi, sosial dan hukum.

Demi Gibran Setitik, Rusak Hukum Senegara

Kompas.com - 18/10/2023, 09:48 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SENIN (16/10/2023), adalah hari yang cukup melelahkan bagi publik Tanah Air. Pada hari itu, Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pengucapan putusan uji materiil Pasal 169 huruf q UU Nomor Tahun 2017 tentang Pemilu terkait batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) di ruang sidang pleno, Gedung MK, Jakarta.

Ada tujuh putusan yang dibacakan pada hari itu, dengan materi gugatan serupa. Dari tujuh gugatan yang dibacakan putusannya oleh MK, hanya Permohonan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang dikabulkan oleh MK.

Meski begitu, terkabulnya satu putusan ini sudah cukup menjadi landasan hukum bagi mereka yang saat ini sudah/sedang menjabat sebagai kepala daerah, baik di provinsi maupun kabupaten/kota, meski usianya belum mencapai 40 tahun, bisa diusung sebagai capres-cawapres.

Permohonan Nomor 90/PUU-XXI/2023, diajukan oleh Mahasiswa atas nama Almas Tsaqibbirru dari Universitas Surakarta (Unsa) Solo.

Isi permohonannya adalah mengubah batas usia minimum capres-cawapres menjadi 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Dalam putusannya MK mengabulkan sebagian gugatan dengan syarat berpengalaman menjadi kepala daerah.

Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa pejabat negara yang dipilih lewat pemilu dan pilkada layak berpartisipasi untuk kontestasi capres-cawapres meski di bawah 40 tahun.

Alasannya mereka sudah teruji dan terbukti memperoleh legitimasi secara langsung dari rakyat. MK juga menilai norma pembatasan usia minimal merugikan atau menghilangkan kesempatan bagi figur/sosok generasi muda yang terbukti pernah terpilih melalui pemilu.

Konsekuensi dari putusan ini akan menjadikan sosok-sosok populer seperti Emil Elestianto Dardak (39 tahun), Wakil Gubernur Jawa Timur Periode 2019-2024, Gibran Rakabuming Raka (36 tahun), Wali Kota Solo saat ini, dan Adnan Purichta Ichsan (37 tahun), Bupati Gowa dua periode 2016-2021 dan 2021-2025 dapat mengajukan diri sebagai capres ataupun cawapres.

Hal ini akan memperluas peta persaingan dalam pilpres dan pemilu 2024 mendatang.

Meski demikian, hasil putusan ketujuh pemohonan ini menuai polemik di tengah masyarakat. Dengan dikabulkannya permohonan Nomor 90/PUU-XXI/2023, seolah melegitimasi opini publik yang sebelumnya menilai bahwa gugatan ini kental bernuansa politik.

Perkara ini menjadi sorotan publik dan dikaitkan dengan wacana anak sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) sekaligus Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka maju jadi cawapres di Pilpres 2024.

Sebab, jika merujuk UU Pemilu, saat ini usia Gibran yang baru 36 tahun belum memenuhi syarat.

Persoalannya, dengan adanya putusan ini, isu tentang adanya campur tangan politik Istana seperti mendapat legitimasi dan terus bermunculan di media sosial.

MK pun mulai diplesetkan singakatannya menjadi “Mahkamah Keluarga”, sebagai sindirian adanya politik dinasti.

Ditambah lagi, dalam hasil putusan MK Senin lalu, ternyata terdapat banyak polemik yang mewarnai putusan MK atas Pemohonan Nomor 90/PUU-XXI/2023.

Hal ini tercermin dari adanya sejumlah pandangan dari Hakim MK sendiri, di mana terdapat alasan berbeda (concurring opinion) dari 2 (dua) orang Hakim Konstitusi, serta terdapat pula pendapat berbeda (dissenting opinion) dari 4 (empat) orang Hakim Konstitusi.

Anehnya lagi, bila dibaca secara seksama alasan berbeda (concurring opinion) dari 2 (dua) orang Hakim Konstitusi, lebih mirip seperti pendapat berbeda (dissenting opinion) ketimbang concurring opinion.

Di dalam empat dissenting opinion yang disampaikan, para hakim MK menyatakan secara gamblang sejumlah masalah yang terjadi dalam proses memutuskan perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 tersebut.

Dengan munculnya sejumlah perbedaan pandangan Hakim MK dalam putusan ini, bukan tidak mungkin dalam hari-hari ke depan, isi putusan ini akan terus bergulir menjadi polemik yang meluas di tengah masyarakat.

Pasalnya, pendapat Hakim MK cukup kompeten untuk dijadikan rujukan dalam konstruksi hukum nasional.

Masalah belum selesai

Masalahnya, meski sudah diputuskan MK, hasil putusan ini tidak bisa serta merta digunakan sebagai landasan hukum untuk Pemilu dan Pilpres 2024.

Sebab hasil putusan ini hanya membatalkan ketentuan dalam Pasal 169 huruf q UU Nomor Tahun 2017 tentang Pemilu. Sedangkan dalam pelaksanaan pemilu, yang menjadi acuan adalah Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).

Sementara itu, untuk mengganti PKPU, KPU harus melakukan konsultasi dengan DPR – yang sayangnya – saat ini sedang memasuki masa reses. Sehingga tidak bisa melakukan persidangan atau rapat.

Ada mekanisme yang bisa dipakai, yaitu ketentuan dalam Tatib DPR RI, Pasal 53, yang menyatakan dalam ayat (3), “Apabila dalam Masa Reses ada masalah yang menyangkut wewenang dan tugas DPR yang dianggap mendasar dan perlu segera diambil keputusan, Pimpinan DPR secepatnya memanggil Badan Musyawarah untuk mengadakan rapat setelah mengadakan konsultasi dengan pimpinan Fraksi.”

Persoalannya, bagaimana mencari argumen objektif yang bisa mendefinisikan bahwa “…ada masalah yang menyangkut wewenang dan tugas DPR yang dianggap mendasar dan perlu segera diambil keputusan”?

Anggaplah salah satu kelompok kepentingan di dalam DPR bisa menjelaskan kondisi tersebut, tapi bagaimana dengan mekanisme selanjutnya, yaitu Rapat Pimpinan dan Badan Musyawarah?

Padahal di dalam komposisi pimpinan DPR saat ini sudah banyak perbedaan yang tidak memungkinkan mereka satu suara.

Puan Maharani selaku Ketua DPR RI berasal dari PDIP dan mendukung Ganjar Pranowo. Wakil Ketua Bidang Korpolkam, Lodewijk F Paulus berasal dari Golkar dan mengusung Prabowo Subianto.

Sufmi Dasco Ahmad sebagai Wakil Ketua DPR RI Bidang Korekeu, berasal dari Gerindra juga mengusung Prabowo.

Dua Wakil ketua lainnya, yaitu Rahmat Gobel (Nasdem) dan Muhaimin Iskandar (PKB) saat ini sudah melabuhkan pilihannya ke pasangan Anies-Muhaimin.

Dari komposisi Pimpinan saja, rasanya sulit bagi pimpinan DPR untuk melaksanakan Badan Musyawarah untuk memutuskan terjadinya persidangan di masa reses.

Belum lagi – kalaupun bisa melaksanakan Bamus – polemiknya bisa lebih tajam. Karena akan memasukan juga Fraksi PAN, PKS, PPP, dan Demokrat. Masing-masing sudah memutuskan keberpihakan politik dalam kontestasi Pilpres 2024 kelak.

Ini belum lagi bila kita asumsikan DPR berhasil meretas jalan untuk melakukan rapat di masa reses, bagaimana nanti dengan proses pengambilan di Komisi II? Di mana komposisi politik anggota komisi akan jauh lebih beragam lagi.

Membuat Perppu

Lalu, ada satu mekanisme lagi yang mungkin bisa dipakai, bila memang ingin memaksakan Gibran Rakabuming Raka maju dalam kontestasi Pilpres 2024. Yaitu pembentukan Perppu, yang dilakukan langsung oleh Presiden Jokowi.

Rujukannya adalah Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi: “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.”

Adapun syarat untuk menerbitkan perppu telah diatur dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 138/PUU-VII/2009.

Menurut Pasal 2 ayat (3) putusan tersebut, penerbitan perpu merupkan hak subjektif presiden, tetapi persyaratan pembuatan perppu merupakan ranah publik.

Sebab, akibat penerbitan perppu oleh presiden akan secara langsung mengikat warga negara dan menimbulkan akibat bagi warga negara.

Pertama, adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang.

Kedua, undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada undang-undang tetapi tidak memadai.

Ketiga, kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu yang cukup lama.

Persoalannya, bagaimana pemerintah mencari argumentasi objektif untuk memenuhi ketiga syarat pembentukan perppu di atas? Alih-alih, langkah ini akan menimbulkan kegaduhan politik dan hukum yang lebih rumit lagi.

Namun terlepas dari itu, yang lebih dikhawatirkan adalah, polemik yang terjadi sekarang bukan tidak mungkin menurunkan tingkat kepuasan publik kepada penyelenggara negara, baik lembaga Yudikatif, Legislatif, dan khususnya Lembaga kepresidenan (eksekutif), yang diharapkan bisa menjadi penyeimbang dan berada di tengah dalam kontestasi pilpres dan pemilu 2024.

Bila ini terjadi, maka akan sangat sulit bagi pemerintah untuk mengamankan proses penyelenggaraan pemilu dan pilpres 2024, khususnya bila eskalasi persaingan terus meningkat sebagaimana yang terjadi pada Pilpres 2014 dan Pilpres 2019.

Lalu, apakah ini worth it? Demi Gibran setitik, rusak hukum senegara? Wallahualam bi Sawab

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Penyidikan Wulan Guritno dan Nikita Mirzani Mandek, Polri dan Satgas Judi “Online” Digugat

Penyidikan Wulan Guritno dan Nikita Mirzani Mandek, Polri dan Satgas Judi “Online” Digugat

Nasional
Pernyataan M Nuh Dinilai Ngawur, JPPI: Masak Dana Pendidikan Diambil untuk Dana Desa?

Pernyataan M Nuh Dinilai Ngawur, JPPI: Masak Dana Pendidikan Diambil untuk Dana Desa?

Nasional
Anggota DPR Dorong Pansus Ungkap Dugaan Mark Up Impor Beras

Anggota DPR Dorong Pansus Ungkap Dugaan Mark Up Impor Beras

Nasional
Mahfud: Pemilu Selesai, yang Menang Harus Diakui, Jangan Marah Melulu

Mahfud: Pemilu Selesai, yang Menang Harus Diakui, Jangan Marah Melulu

Nasional
Keir Starmer Jadi PM Inggris, Jokowi Ucapkan Selamat dan Ingin Perkuat Kerja Sama

Keir Starmer Jadi PM Inggris, Jokowi Ucapkan Selamat dan Ingin Perkuat Kerja Sama

Nasional
KPK Ungkap Jatah Dollar AS untuk Rita Widyasari dari Setiap Metrik Ton Tambang Batubara

KPK Ungkap Jatah Dollar AS untuk Rita Widyasari dari Setiap Metrik Ton Tambang Batubara

Nasional
Megawati Tantang Rossa Purbo Bekti Menghadap, Eks Penyidik KPK: Harus Dianggap Permintaan Tokoh Bangsa

Megawati Tantang Rossa Purbo Bekti Menghadap, Eks Penyidik KPK: Harus Dianggap Permintaan Tokoh Bangsa

Nasional
Jamaah Islamiyah Bubar, Nyatakan Kembali ke Pangkuan NKRI

Jamaah Islamiyah Bubar, Nyatakan Kembali ke Pangkuan NKRI

Nasional
Gandeng Pemprov, BPH Migas Ingin Penyaluran dan Kompensasi BBM Subsidi Kian Tepat Sasaran

Gandeng Pemprov, BPH Migas Ingin Penyaluran dan Kompensasi BBM Subsidi Kian Tepat Sasaran

Nasional
JPPI Soroti Jual Beli Kursi Sekolah dalam PPDB yang Kembali Terjadi

JPPI Soroti Jual Beli Kursi Sekolah dalam PPDB yang Kembali Terjadi

Nasional
KPK Diminta Tak Gentar, Pertemuan Megawati dan AKBP Rossa Penting untuk Redakan Isu Kasus Masiku Politis

KPK Diminta Tak Gentar, Pertemuan Megawati dan AKBP Rossa Penting untuk Redakan Isu Kasus Masiku Politis

Nasional
Marinir TNI AL dan AS Latihan Bersama di Indonesia Bulan Ini

Marinir TNI AL dan AS Latihan Bersama di Indonesia Bulan Ini

Nasional
JPPI Terima Laporan, Banyak Anak Putus Sekolah Imbas Tak Lolos PPDB

JPPI Terima Laporan, Banyak Anak Putus Sekolah Imbas Tak Lolos PPDB

Nasional
Pengacara 2 Terdakwa Klaim Tak Ada Bukti Persekongkolan dan Kerugian Negara di Kasus Tol MBZ

Pengacara 2 Terdakwa Klaim Tak Ada Bukti Persekongkolan dan Kerugian Negara di Kasus Tol MBZ

Nasional
Jelang Vonis Kasus 'Kerangkeng Manusia' Eks Bupati Langkat, LPSK Harap Restitusi Korban Diputus Maksimal

Jelang Vonis Kasus "Kerangkeng Manusia" Eks Bupati Langkat, LPSK Harap Restitusi Korban Diputus Maksimal

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com