MCCOMBS dan Daniel Shaw menyajikan teori terkait kemampuan media, yaitu teori agenda setting tahun 1973, melalui publikasi berjudul The Agenda Setting Function of The Mass Media.
Pada praktik operasional media, teori tersebut menjelaskan bahwa melalui pemberitaannya tentang suatu peristiwa, media memproduksi agenda yang disebutnya sebagai agenda media.
Dari agenda media tersebut memungkinkan terbentuk agenda publik, yang memang diharapkan sama atau saling mendukung. Artinya, ada kesatuan agenda, antara media (produsen berita) dengan publik (konsumen berita).
Pada posisi ketika peristiwa yang diberitakan berkaitan dengan realitas politik kekuasaan, maka kesesuaian agenda media dan agenda publik tersebut diharapkan bermuara pada pembentukan agenda kekuasaan.
Kesimpulannya adalah bahwa agenda media membentuk agenda publik, dan pada derajat tertentu, terbentuklah agenda kekuasaan, yang mana ketiganya berada dalam nada yang sama.
Aktualitas dari teori agenda setting tersebut, sepertinya mulai menemukan tempatnya, dalam konteks perhelatan menuju pilpres 2024 nanti terkait dengan harapan dimunculkannya visi, misi, dan program kerja para bacapres yang ingin didengar publik.
Melalui pemberitaan media, para kandidat yang masuk dalam bursa bacapres sudah jauh-jauh hari “didesak” agar segera menyampaikan program kerjanya kepada publik.
Desakan-desakan melalui pemberitaan tersebut kemudian dikuatkan oleh publik, melalui pendapat dan atau pandangan yang diproduksi oleh para pengamat, analis politik, akademisi, atau siapa pun yang interest kepada suksesi pilpres.
Terlepas dari siapa yang memulai duluan, agenda media dan agenda publik berkelindan memaksa para kandidat yang ada, entah melalui pesan yang ditujukan langsung kepada mereka, atau melalui pesan melalui partai politik pengusung untuk segera menyampaikan program kerjanya.
Apa yang akan mereka lakukan jika nanti terpilih menjadi presiden 2024-2029 nanti?
Para bacapres serta partai koalisi mereka yang setiap harinya berbicara dalam bahasa program “perubahan” dan program “keberlanjutan” dipaksa menguraikan makna perubahan dan keberlanjutan tersebut dalam bahasa konkret.
Kira-kira program konkretnya nanti seperti apa? Hal ini untuk menghindarkan bangsa dari kemungkinan terpilihnya pemimpin tanpa pogram kerja yang jelas.
Publik ingin melepaskan diri atau harus dilepaskan dari politik dagang sapi, politik “beli kucing dalam karung”, yang kerap mendominasi setiap perhelatan demokrasi kita.
Tuntutan agar program kerja para kandidat harus segara disampaikan sekaligus untuk melucuti perilaku politisi yang lebih mementingkan mempersolek diri dengan narasi, gesture, dan perilaku yang tidak substantif.
Demokrasi prosedural yang termanifestasi dalam bentuk pemilihan umum, harus naik kelas. Salah satu cerminan dari demokrasi kita naik kelas adalah ketika para kandidat yang akan berkontestasi segera menyampaikan jauh-jauh hari program kerjanya.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.