Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 22/09/2023, 06:15 WIB
Aryo Putranto Saptohutomo

Editor

JAKARTA, KOMPAS.com - Kajian Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkapkan relasi antara presiden dan lembaga intelijen sampai saat ini masih penuh dengan berbagai persoalan, terutama konflik kepentingan.

Peneliti dan Koordinator klaster Konflik, Pertahanan, dan Keamanan Pusat Riset Politik (PRP) BRIN Muhamad Haripin mengatakan, dari hasil kajian terungkap ada 3 persoalan mendasar terkait hubungan antara presiden dan lembaga intelijen.

Persoalan mendasar itu adalah kelemahan regulasi, konflik kepentingan, dan kompleksitas ancaman.

Kajian dan analisis tentang relasi presiden-intelijen yang dilakukan oleh Haripin dan rekan-rekannya memotret kondisi kedua institusi itu sejak 1945 sampai 2021.

Haripin menyoroti problem relasi itu dari sisi konflik kepentingan, terkait dengan pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang memiliki data intelijen kondisi internal dan agenda partai politik (parpol).

Baca juga: Dikritik Soal Data Intelijen, Jokowi: Di Undang-Undang Harus Laporan ke Presiden

Persoalan pertama, kata Haripin, relasi antara presiden dan intelijen sangat politis. Penyebabnya adalah penunjukkan kepala Badan Intelijen Negara (BIN) yang dilakukan sangat kental dengan aroma politik, meski tercantum di dalam Undang-Undang Intelijen Negara.

Menurut dia, cara seperti itu berdampak terhadap pengawasan yang dilakukan oleh presiden kepada lembaga intelijen cenderung politis.

"Model political appointment, kepala BIN diangkat oleh presiden. Cenderung politis. Orang yang diangkat sebagai kepala BIN dianggap adalah orang dekat presiden," kata Haripin dalam Webinar Bahaya Penyalahgunaan Intelijen dalam Penyelenggaraan Pemilu 2024, dikutip dari kanal YouTube BRIN, Kamis (21/9/2023).

Persoalan kedua adalah ketika terjadi kompetisi politik atau kelompok oposisi uang tinggi, maka pengawasan intelijen oleh presiden tidak efektif. Penyebabnya presiden dinilai dapat memanipulasi badan intelijen untuk bertahan dari serangan lawan politiknya.

Masalah ketiga adalah ketika terjadi kompetisi politik dan presiden menggunakan intelijen sebagai alat penangkal, maka hal itu membuat lembaga telik sandi melanggar mandatnya.

Baca juga: Pegang Data Intelijen Parpol, Jokowi Klaim Tak Ada Aturan Dilanggar

"Ujung-ujungnya terjadi impunitas, atau tidak ada penyelidikan atau tidak ada pertanggungjawaban dari intelijen itu sendiri, karena dia melayani kepentingan presiden dan melakukan itu untuk rezim dan tidak ada tanggung jawab apapun," papar Haripin.

Haripin menilai persoalan konflik kepentingan itulah yang menjadi problem menahun relasi presiden-intelijen di Indonesia.


Menurut Haripin, kondisi lembaga intelijen Indonesia saat ini masih jauh dari profesional dan demokratis.

Dia mengatakan, idealnya presiden harus tahu porsi kewenangannya dan batas regulasi dalam berhubungan dengan intelijen.

Sedangkan intelijen seharusnya bisa menempatkan diri kapan bisa mengikuti presiden dan kapan harus mengikuti aturan yang ada.

Baca juga: Tawa Jokowi Saat Ditanya soal Data Intelijen Partai Politik...

Halaman:
Baca tentang


Rekomendasi untuk anda
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com