JAKARTA, KOMPAS.com - Pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang memiliki data intelijen internal dan agenda seluruh partai politik (parpol) terindikasi mengancam proses demokrasi menjelang Pemilu 2024.
Peneliti dan Koordinator klaster Konflik, Pertahanan, Keamanan Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP BRIN) Muhamad Haripin mengatakan, pernyataan Jokowi juga mengindikasikan terjadinya penyalahgunaan intelijen untuk kepentingan kekuasaan.
"Mengakibatkan pelanggaran hak kebebasan warga, ancaman serius bagi proses menjelang Pemilu 2024, dan mengancam nilai kebangsaan yang terkandung dalam Pancasila," kata Haripin dalam Webinar Bahaya Penyalahgunaan Intelijen dalam Penyelenggaraan Pemilu 2024, seperti dikutip dari kanal YouTube BRIN, Kamis (21/9/2023).
Penggunaan kemampuan lembaga intelijen buat kepentingan politik rezim juga dinilai bertentangan dengan Undang-Undang 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara.
Sebab menurut beleid itu, tugas intelijen adalah mengumpulkan dan mengolah informasi soal ancaman.
Baca juga: Dikritik Soal Data Intelijen, Jokowi: Di Undang-Undang Harus Laporan ke Presiden
"Bukan 'bahan keterangan' koalisi politik atau oposisi politik," ujar Haripin.
Haripin mengatakan, BRIN sudah melakukan kajian dan memetakan terdapat konflik kepentingan dalam hubungan antara presiden sebagai pengguna informasi dan intelijen sebagai pengumpul dan penyedia informasi.
Menurut Haripin, persoalan pertama dimulai akibat hubungan antara presiden dan intelijen yang cenderung politis.
Penyebabnya, kata Haripin, adalah model pemilihan kepala Badan Intelijen Negara (BIN) secara politik (political appointment) dan termaktub dalam beleid itu.
"Mendorong pengawasan yang dilakukan oleh presiden cenderung politis," ucap Haripin.
Baca juga: Pegang Data Intelijen Parpol, Jokowi Klaim Tak Ada Aturan Dilanggar
Persoalan kedua, kata Haripin, adalah ketika terjadi kompetisi politik yang ketat atau terdapat kelompok oposisi yang kuat, maka presiden cenderung menggunakan badan intelijen buat bertahan dari gempuran lawan politik.
"Tingginya kompetisi politik/oposisi menjadikan pengawasan intelijen oleh presiden tidak efektif karena presiden dapat memanipulasi badan intelijen untuk bertahan dari serangan oposisi," ucap Haripin.
Persoalan ketiga, kata Haripin, ketika terjadi kompetisi politik atau oposisi yang tinggi maka presiden cenderung mengerahkan intelijen buat mengamankan kekuasaannya. Alhasil, gerakan intelijen kerap sulit dipertanggungjawabkan dan menyuburkan praktik impunitas.
"Berpotensi dapat memantik politisasi karena memberikan impunitas bagi aktivitas intelijen yang mendukung kekuasaan presiden," kata Haripin.
Sebelumnya diberitakan, Presiden Jokowi menyatakan mengetahui arah agenda politik dari setiap parpol menjelang Pemilu dan Pilpres 2024.
Baca juga: Jokowi Sebut Semua Presiden Dapat Laporan Data Intelijen
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.