JAKARTA, KOMPAS.com - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menyatakan, pencabutan anggaran wajib (mandatory spending) dalam Undang-Undang (UU) Kesehatan tidak ada kaitannya dengan skema pembiayaan BPJS Kesehatan dan pelayanan kesehatan yang diterima oleh peserta JKN.
Hal ini menanggapi adanya isu yang beredar bahwa penghapusan mandatory spending menghapus pembiayaan BPJS Kesehatan untuk kelompok Peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Juru Bicara Kemenkes, Mohammad Syahril menyebut informasi tersebut tidak benar.
"Upaya pendanaan kesehatan perseorangan dalam program jaminan kesehatan yang dikelola BPJS tidak terkait dengan mandatory spending dalam UU kesehatan tidak ada perubahan pengaturan terkait BPJS Kesehatan," kata Syahril dalam siaran pers, Kamis (10/8/2023).
Baca juga: Mandatory Spending Dihapus, Kemenkes: Kalau Dulu, Enggak Jelas Berapa Duit Kita Habiskan
"Sehingga informasi tersebut tidak benar dan menyesatkan," lanjutnya.
Syahril mengungkapkan, mandatory spending adalah besaran APBN dan APBD yang harus disediakan oleh pemerintah untuk anggaran kesehatan.
Penghapusan mandatory spending bukan berarti anggaran kesehatan menjadi tidak ada. Melainkan, skemanya diubah berdasarkan perencanaan yang jelas, yang tertuang dalam rencana induk kesehatan.
Menurut Syahril, anggaran akan lebih efektif dan efisien karena berbasis kinerja berdasarkan input, output, dan outcome yang akan dicapai. Sebab, tujuannya lebih jelas untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia setinggi-tingginya.
Baca juga: Apa Itu Mandatory Spending yang Dihapus di UU Kesehatan, Apakah Berdampak pada BPJS?
"Jadi semua tepat sasaran, tidak buang-buang anggaran. Kalau mandatory spending itu terkait dengan belanja yang wajib untuk membiayai program-program kesehatan seperti pencapaian target stunting, menurunkan AKI, AKB, mengeliminasi kusta, eliminasi TBC, dan juga penyiapan sarana prasarana," ucap dia.
Syahril menuturkan, mandatory spending berbeda dengan skema pembiayaan dalam BPJS Kesehatan yang menggunakan sistem asuransi sosial.
Uang yang dikelola lembaga tersebut merupakan iuran dari para peserta BPJS Kesehatan.
Bagi yang mampu, iuran BPJS dibayar sendiri. Bagi pekerja penerima upah (pekerja formal), iuran JKN dibayar secara gotong royong antara pekerja (mengiur 1 persen) dan pemberi kerja (mengiur 4 persen).
Sementara bagi masyarakat yang tidak mampu, iuran akan dibayarkan sepenuhnya oleh pemerintah melalui skema Penerima Bantuan Iuran (PBI).
"Tidak adanya mandatory spending tidak akan berpengaruh terhadap aspek layanan kesehatan yang diterima oleh peserta BPJS Kesehatan seperti yang selama ini sudah berjalan," tandas Syahril.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.