KONDISI politik Indonesia belakangan ini mungkin bisa disimbolkan oleh peristiwa yang terjadi beberapa hari lalu, saat ruang virtual di Tanah Air dipenuhi wawancara Aldi Taher yang menyatakan pencalonannya sebagai anggota legislatif.
Wawancara tersebut diadakan di salah satu stasiun televisi swasta dan menjadi topik hangat, memaparkan kontradiksi yang cukup mencolok di dalam demokrasi kita hari ini.
Peristiwa tersebut tidak hanya menunjukkan dua sisi koin—tawa dan air mata—tapi juga mengungkap paradoks dalam sistem politik kita yang tampak semakin meninggalkan visi ideal demokrasi.
Demokrasi dalam intisarinya dirancang sebagai instrumen yang menjamin individu yang mampu dan kompeten memiliki peluang sama untuk meraih posisi kepemimpinan.
Paradoks terjadi ketika beberapa pencalonan politik—termasuk pencalonan Aldi Taher—cenderung memicu tawa daripada menginspirasi harapan dan optimisme akan kemajuan demokrasi kita.
Sejumlah warganet, dengan berbagai alasan, bahkan menyatakan dukungan mereka kepada sosok seperti Aldi Taher.
Seakan menggambarkan ketidakpuasan dan kekecewaan terhadap sistem politik yang seharusnya mewakili suara mereka, sejumlah pihak lebih memilih "badut politik" sejati daripada politisi yang tampak pretensius, namun tak jelas arah dan tujuannya.
Ini mencerminkan apa yang bisa kita sebut sebagai 'kelelahan demokrasi' atau democratic fatigue.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Wesley Menard Chaput (2020), kelelahan demokrasi merujuk pada kondisi di mana masyarakat merasa frustrasi dan kecewa dengan sistem politik yang dianggap tidak berfungsi, kurang efisien, atau terlalu rumit.
Faktor-faktor seperti stagnasi ekonomi, peningkatan disfungsi politik ditandai dengan polarisasi dan kepercayaan terhadap pemerintah yang merosot, serta perubahan generasi yang signifikan dalam norma budaya, berperan dalam menjelaskan fenomena ini, khususnya di kalangan milenial.
Sebagai akibatnya, masyarakat cenderung merasa lebih puas dengan demokrasi cacat yang memperkuat aktor politik populis-otoriter yang mereka dukung.
Dalam kondisi tertentu, otoritarianisme—meski berbahaya dan penuh kelemahan—dianggap sebagai alternatif yang lebih dapat diandalkan.
Ironis memang, namun ini menggambarkan sejauh mana frustrasi dan kekecewaan masyarakat terhadap demokrasi saat ini.
Kelelahan demokrasi bukan hanya tentang kerinduan akan sistem politik berbeda. Jika kita telaah lebih dalam, kelelahan demokrasi juga bisa menjadi pemicu bagi pemerintah dan masyarakat untuk mengambil langkah-langkah konkret dalam memperbaiki sistem politik.
Korupsi yang merajalela, misalnya, bukan hanya soal individu yang melakukan tindakan melanggar hukum demi keuntungan pribadi, melainkan juga tentang bagaimana struktur politik kita memfasilitasi dan memperkuat praktik koruptif tersebut.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.