Kedua, konsekuensinya ada perlakuan penilaian yang berbeda kepada KPK oleh Presiden dan DPR dalam satu masa periode yang sama sebanyak dua kali dalam hal melakukan seleksi atau rekrutmen Pimpinan KPK.
Jika dibandingkan dengan komisi atau lembaga independen bersifat constitutional importance lainnya yang memiliki masa jabatan pimpinan selama 5 tahun yang hanya diberikan penilaian satu kali.
Mahkamah mencontohkan Presiden dan DPR periode 2019-2024 dapat melakukan penilaian seleksi atau rekrutmen Pimpinan KPK selama dua kali, yaitu pada Desember 2019 lalu dan nanti yang kedua pada Desember 2023.
Ketiga, akan berdampak dapat mengancam independensi KPK karena berpotensi memengaruhi independensi Pimpinan KPK yang akan mendaftarkan kembali pada periode berikutnya.
Hal ini, menurut Mahkamah, karena ada beban psikologis dan benturan kepentingan sebagai akibat adanya dua kali seleksi atau rekrutmen Pimpinan KPK oleh Presiden dan DPR periode yang sama.
Keempat, menurut Mahkamah, jika masa jabatan Pimpinan KPK selama 5 tahun disesuaikan dengan komisi dan lembaga independen lainnya menjadi jauh lebih bermanfaat dan efisien daripada selama 4 tahun.
Dalam kacamata penulis, pertimbangan-pertimbangan hukum Mahkamah sebagaimana tersebut di atas membuka ruang untuk diperdebatkan dari sisi akademis.
Pertama, argumentasi Mahkamah yang menyatakan ketentuan masa jabatan Pimpinan KPK selama 4 tahun dinilai tidak adil karena berbeda dengan masa jabatan pimpinan komisi dan lembaga independen bersifat penting secara konstitusional (constitutional importance) lainnya dan sebagai konsekuensinya ada perlakuan pernilaian berbeda bagi KPK dalam hal seleksi atau rekrutmen Pimpinan KPK sebanyak dua kali oleh Presiden dan DPR dalam periode yang sama, dalam kacamata penulis bukanlah persoalan konstitusional (constitutional question).
Bukan merupakan domain Mahkamah untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan penafsirannya.
Persoalan “angka” bukanlah merupakan persoalan konstitusional yang harus dinilai Mahkamah. Tetapi merupakan pilihan kebijakan hukum (open legal policy) dari pembentuk undang-undang.
Jika persoalan “angka” menjadi domain Mahkamah, maka Mahkamah secara tidak langsung telah menunjukkan inkonsistensi sikap dengan putusan-putusan yang dibuat sebelumnya.
Dalam persoalan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) yang menentukan suatu partai politik apakah dapat mendudukkan wakilnya di DPR sebagaimana dalam UU Pemilu, Mahkamah tidak menjangkau persoalan ini untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskannya.
Demikian juga terkait ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) sebagai syarat batas minimal partai politik atau gabungan partai politik dapat mengusung atau mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden berdasarkan perolehan suara sah secara nasional atau perolehan kursi DPR sebagai hasil pemilu, meski sudah diajukan puluhan kali, faktanya Mahkamah konsisten tidak memasuki persoalan itu.
Jika Mahkamah memasuki persoalan “angka” sebagaimana ditunjukkan dalam putusan yang memperpanjang masa jabatan Pimpinan KPK justru akan membuka kotak pandora bagi munculnya pengujian materiil (constitutional review) selanjutnya terkait ketentuan undang-undang yang mengatur angka.
Mahkamah dikhawatirkan pada akhirnya bisa saja akan memeriksa, mengadili, dan memutus syarat batas minimal usia pasangan calon presiden dan wakil presiden karena berbeda dengan, misalnya syarat batas minimal usia calon legislatif.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.