DALAM satu kesempatan di suatu sekolah, keluarlah dua anak SMP dari mobil SUV seharga sekitar Rp 600 juta yang baru saja parkir.
Tidak ada yang aneh, mengingat mereka berdua adalah penumpang. Beberapa saat kemudian, keluarlah seorang anak SMP lagi, namun kali ini dari kursi pengemudi.
Ya, pengemudinya adalah anak SMP yang tidak menunjukkan rasa was-was karena mungkin sudah terbiasa.
Peristiwa kecil ini menyisakan beberapa isu penting, yakni bibit flexing/pamer harta anak SMP, lalu perilaku melanggar adab berkendara dan aturan lalu lintas, potensi munculnya perilaku melanggar hal-hal lain secara berkelompok. Perilaku negatif ini berpotensi berlanjut pada generasi selanjutnya.
Bibit flexing harta jelas teridentifikasi, mengingat tidak ada urgensi anak SMP ini membawa mobil ke sekolah dan belum cukup umur juga untuk bertanggung jawab dalam menyetir mobil.
Namun perilaku ini dapat toleransi atau dibiarkan oleh orangtuanya, mungkin karena sang orangtua gemar melakukan flexing juga, sehingga ini menjadi kebiasaan yang 'benar'.
Meskipun peristiwa ini tidak beredar di media sosial, tapi perilaku flexing tetaplah flexing.
Secara aturan, anak SMP (12-15 tahun) tentu belum memenuhi syarat untuk memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM), yakni 17 tahun, sehingga mengendarai mobil bagi mereka sudah pasti melanggar hukum.
Orangtua kembali menjadi faktor utama kegagalan melarang dan menangani sejak dini perilaku melanggar hukum ini. Repotnya hal ini tidak hanya melibatkan satu anak, tapi tiga anak dan lebih luas lagi tiga keluarga.
Kemungkinan teman-teman dekat mereka yang lain juga sudah terbiasa melakukan hal yang sama.
Kekhawatiran lain adalah bahwa perilaku menyimpang ini akan diturunkan kepada generasi berikutnya, kecuali ada langkah korektif mandiri.
Di samping itu, perilaku flexing harta oleh anak remaja ini dan pelanggaran lalu lintas yang dilakukannya, seringkali berbarengan dengan perilaku unjuk kekuasaan maupun kekerasan kepada orang lain, tidak peduli haram atau halal harta yang diperoleh - misalnya hasil korupsi - serta tidak takut atas semua aturan hukum.
Serangkaian perilaku negatif ini sebagaimana viral belakangan ini, sebetulnya bukan hanya milik remaja saja, yang merupakan Gen Z (lahir 1997-2012 mengacu pada riset dari pewresearch.org, beresfordresearch.org), tapi juga generasi orangtuanya yang tergolong Milenial (lahir 1981-1996) atau Gen X (lahir 1965-1980).
Gen Z, Milenial, dan Gen X mendominasi jumlah penduduk Indonesia, dengan persentase mencapai hampir 75 persen total jumlah penduduk Indonesia 270,2 juta jiwa, menurut hasil sensus penduduk dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2020.
Ketiga generasi ini adalah tulang punggung Indonesia saat ini untuk memutus perilaku negatif, baik itu warisan masa lalu, misalnya, korupsi dan unjuk kekuasaan, maupun tren negatif kekinian seperti flexing harta dan kekerasan yang kemudian dipertontonkan di media sosial, dan di sisi sebaliknya meneruskan perilaku baik yang sesuai kearifan dan budaya lokal.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.