PRAKTIK peradilan pidana anak di Indonesia masih jauh dari cita-cita ideal yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Hal itu terlihat dari sejumlah data pelaksanaan Diversi hingga pengetahuan aparat penegak hukum.
Kasus anak berhadapan hukum (ABH) hingga 2020, menurut data Laporan Pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Anak Tahun 2021 yang dilansir dari halaman Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, menunjukkan Mahkamah Agung mencatat ada 5.774 kasus. Dari angka tersebut, hanya 452 kasus yang diselesaikan dengan Diversi.
Sementara menurut data versi Kepolisian Republik Indonesia, kasus ABH tercatat 8.914 kasus, selesai melalui Diversi hanya 473 kasus.
Versi lain menurut Kejaksaan Republik Indonesia, kasus ABH tercatat 7.329 kasus, dengan penyelesaian Diversi 908 kasus.
Hal ini menunjukkan, dari seluruh kasus ABH pada 2020, tidak sampai 10 persen yang diselesaikan dengan Diversi.
Selain itu, hingga 2020, data Mahkamah Agung menunjukkan dari 4.414 hakim di seluruh Indonesia, baru sejumlah 2.240 hakim yang telah mengikuti pelatihan Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA).
Sementara data Bareskrim Polri menunjukkan, 1.401 anggota kepolisian belum mengikuti pelatihan/kejuruan PPA/SPPA, dan baru 650 anggota kepolisian yang mengikuti pelatihan terpadu SPPA.
Hal ini mencerminkan bahwa praktik peradilan pidana anak di Indonesia masih jauh dari cita-cita ideal yang dituangkan dalam UU SPPA.
Fungsi dan tujuan kebijakan Diversi masih belum dapat dimengerti dan diterima secara menyeluruh oleh aparat penegak hukum (APH) maupun oleh masyarakat Indonesia.
Sebelas tahun sejak diundangkannya UU SPPA, Diversi perlu didudukkan kembali dengan semangat restorative justice yang melandasinya, serta asas kepentingan terbaik bagi anak yang menjadi konsensus di dalam Konvensi Hak Anak (KHA).
Hal ini tidak hanya perlu dicermati dalam ranah praktis, namun perlu dimaknai hingga ranah konseptual.
Sistem peradilan pidana anak saat ini belum dirancang secara sempurna untuk membantu anak dalam perjuangannya untuk mengatasi viktimisasi terhadap anak.
Dalam Pasal 5 UU SPPA ayat (2) huruf a dan huruf b menyebutkan bahwa Diversi wajib diupayakan. Namun kerap kali implementasi Diversi gagal akibat asingnya kebijakan ini bagi masyarakat, bahkan bagi APH sekalipun.
Implementasi Diversi berfokus pada konsep pemulihan keadaan terhadap kondisi semula terhadap pelaku dan korban anak (Considene, 1995).
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.