JAKARTA, KOMPAS.com - Pengakuan Presiden RI Joko Widodo bahwa dirinya akan cawe-cawe urusan Pilpres 2024 membuat kenegarawanannya dipertanyakan.
Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari, menegaskan bahwa presiden tidak seharusnya ikut campur atau membantu calon pilihannya dalam pemilu berikutnya di mana ia sudah tak ambil bagian sebagai kandidat.
"Mantan presiden mestinya sudah berpikir menjadi negarawan yang merangkul semua kalangan. Bukan membangun keterbelahan yang lebih serius dibandingkan pemilu sebelumnya," kata Feri kepada Kompas.com, Kamis (1/6/2023).
"Bagi saya, Presiden Joko Widodo terlihat belum dewasa selama dua periode kepemimpinannya, dan malah meruntuhkan dia sebagai kandidat negarawan ke depannya sebagai seorang mantan presiden," tambahnya.
Baca juga: Menunggu Kejutan PDI-P: Antara 2 PR Ganjar dan Cawe-cawe Jokowi
Ia khawatir langkah Jokowi ini bisa dibaca sebagai lampu hijau untuk pengerahan aparat negara dalam urusan elektoral.
Sebagai kepala negara, ada berbagai lembaga negara yang bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Kepala negara juga membawahi ratusan kepala daerah yang juga bakal menghadapi Pilkada 2024.
Masalah kian runyam karena terdapat 24 gubernur dan 248 bupati/wali kota bakal habis masa jabatannya jelang tahun 2024. Posisi mereka digantikan oleh penjabat (pj) kepala daerah dari kalangan pejabat tinggi madya.
Meski Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menerbitkan aturan bahwa pengusulan kandidat pj kepala daerah harus atas rekomendasi parlemen secara seimbang, tetapi nama yang diputuskan menjadi pj kepala daerah ditentukan sepihak oleh pemerintah pusat.
Baca juga: Ganjar Sebut Cawe-cawe Jokowi Bukan Intervensi Politik Keseluruhan
Padahal, Jokowi adalah Presiden RI, bukan presiden partai politik maupun presiden kandidat capres tertentu belaka.
"Langkah presiden bisa dibaca bahwa presiden akan menggunakan relasi kekuasaannya kepada 34 kementerian, Jaksa Agung, Kapolri, Panglima TNI, dan semua yang berada di dalam ruang kabinetnya dari pusat hingga ke daerah," kata Feri.
"Ini tentu saja bisa saja sangat merugikan," lanjut dia.
Feri menyinggung alasan dibuatnya aturan cuti bagi presiden yang hendak berkampanye, yakni menghindari penggunaan fasilitas dan kewenangan pejabat negara dalam urusan politik praktis.
Jika tidak menjalani cuti di luar tanggungan, potensi penyalahgunaan kekuasaan itu hampir pasti terjadi karena segala hak istimewa, fasilitas, sumber daya, dan kewenangan itu melekat kepada jabatan presiden.
Baca juga: Hati-hati Pak Jokowi, Sikap Cawe-cawe Bisa Diikuti Ratusan Kepala Daerah
"Dan kalau itu berkaitan dengan menguntungkan calon presiden tertentu atau yang dia sedang mendukung tentu akan ada potensi abuse of power," ujar dia.
Feri menilai, indikasi Jokowi penyalahgunaan kekuasaan untuk urusan elektoral itu sudah terlihat dalam beberapa kejadian terakhir.
Ambil contoh, Jokowi secara terang-terangan mengumpulkan ketua umum partai politik di Istana Merdeka, minus ketua umum partai politik poros oposisi.
Jokowi juga pernah mengajak Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, sesama kader PDI-P, satu pesawat kepresidenan terbang ke Solo. Hal itu terjadi setelah Ganjar diumumkan sebagai bakal calon presiden 2024 oleh PDI-P.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.