SISTEM pemilu proporsional terbuka membuka peluang bagi individu politisi melakukan akrobat politik. Loyalitas kepada partai menjadi barang mewah karena sistem pemilu yang membuka seluas-luasnya kesempatan politisi melakukan manuver politik.
Alasannya sistem proporsional terbuka sangatlah liberal sehingga banyak caleg hanya mengandalkan uang dan popularitas untuk keterpilihannya menjadi anggota DPR/DPRD.
Dampaknya pada setiap proses penyerahan Daftar Calon Sementara (DCS) yang diserahkan partai ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) kerap terdapat nama ganda caleg yang terdaftar di Partai A terdaftar pula di Partai B, bahkan Partai C sebagai calon secara bersamaan.
Nama ganda caleg yang didaftarkan ke KPU jelas mencederai tahapan penjaringan bacaleg oleh partai politik karena terdapat oknum individu yang memiliki motivasi berbeda dalam memandang Pemilu.
Berkuasa melalui keterpilihannya menjadi anggota legislatif adalah tujuan utama tanpa mempertimbangkan aspek ideologi, visi, misi dan program partai berkompetisi di Pemilu.
Situasi ini tentu akan berakibat buruk bagi proses institusional kepartaian dan bisa menjadi duri dalam daging yang bisa mengakibatkan “kebusukan” di tubuh partai politik itu sendiri karena terdapat sikap oportunis oknum politisi yang ada di dalamnya.
Juga sikap oportunis ini kelak bisa menghadirkan dampak negatif karena potensinya menghadirkan perlawanan terhadap keputusan partai.
Masalahnya situasi seperti ini tidak terjadi dalam satu atau dua kasus, tapi banyak kasus yang potensinya jika dibiarkan akan menjadi satu kekuatan besar yang didorong oleh pihak eksternal berkepentingan untuk memengaruhi kebijakan partai.
Hal yang lebih jauh konsekuensi dari sistem politik proporsional terbuka akan melahirkan kader-kader yang tidak ideologis yang rentan melakukan perlawanan terhadap putusan partai.
Potensi yang paling jauh mereka bisa melakukan Musyawarah Nasonal atau Kongres Luar Biasa untuk memilih ketua umum dan pengurus baru menggantikan kepengurusan yang lama.
Menurut hasil survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang dirilis pada Maret 2023 lalu, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap partai politik hanya tujuh persen responden yang sangat percaya dan 51 persen cukup percaya. Angka ini sekaligus menjadi yang terendah dibandingkan lembaga-lembaga lainnya.
Alasan utama mengapa tingkat kepercayaan terhadap partai politik adalah karena kegagalan partai politik membangun hubungan dengan masyarakat melalui pendidikan politik, komunikasi politik hingga mengelola isu yang berkembang terkait partai politik.
Selain itu banyaknya kasus kader-kader partai yang menduduki jabatan politik seperti anggota DPR/DPRD hingga kepala daerah yang terjerat korupsi di KPK dan di Kejaksaan menjadi konsekuensi lain menurunnya kepercayaan masyarakat pada partai politik.
Padahal, pada negara yang mengandalkan sistem demokrasi khususnya Indonesia dalam kepolitikannya, kepercayaan masyarakat pada partai politik adalah bagian penting yang harus dimiliki.
Karena dari rahim partai politiklah seorang presiden dan anggota DPR/DPRD dilahirkan. Pun penguatan kelembagaan (institusionalisasi) partai politik merupakan keharusan yang dimiliki oleh semua partai politik di Indonesia.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.