ADA lima isu utama ketika Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melakukan pembahasan terhadap Rancangan Undang-Undang Pemilu (RUU Pemilu).
Isu itu, yaitu angka parlementary threshold (ambang batas parlemen), angka presidential threshold (angka syarat pencalonan presiden), district magnitude (besaran jumlah dapil), metode perhitungan suara dan sistem pemilu.
Kelima isu itu selalu dibahas dengan dinamika perdebatan yang alot di ruang sidang DPR.
Pun dinamika alotnya pembahasan RUU Pemilu di DPR tidak terjadi layaknya yang kerap kita saksikan dua atau tiga tahun sebelum pelaksanaan pemilihan.
Alasannya hasil rapat bersama antara DPR, Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu (KPU RI dan Bawaslu RI) tanggal 13-15 Mei 2022 lalu menyepakati perubahan UU Pemilu dilakukan melalui penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) oleh Presiden.
Selanjutnya pada 4 April 2023, DPR mengesahkan Perpu Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum sebagai regulasi utama Pemilu 2024.
Artinya kepastian soal rujukan undang-undang untuk Pemilu 2024 telah hampir rampung kecuali terkait sistem pemilu.
Hal ini disebabkan pada November 2022 yang lalu, kader dari PDI Perjuangan atas nama Demas Brian Wicaksono beserta lima orang koleganya melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap sistem pemilu proporsional terbuka dalam pasal 168 ayat 2 dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Adapun gugatan tersebut tinggal menunggu putusan MK, apakah sistem pemilu yang dilaksanakan dengan proporsional terbuka atau proporsional tertutup.
Pelaksanana sistem Pemilu proporsional tertutup dan proporsional terbuka sudah sama-sama pernah dilaksanakan di Indonesia.
Sistem Pemilu proporsional tertutup pernah dilaksanakan masa pemerintahan Sukarno saat Pemilu 1955, pemerintahan Soeharto saat Pemilu tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997 serta Era Reformasi pada Pemilu 1999 dan 2004.
Sementara pelaksanaan Pemilu dengan proporsional terbuka dilaksanakan saat Pemilu 2009, 2014, dan 2019.
Sehingga pembahasan kedua sistem pemilu tersebut bukanlah hal tabu untuk dibicarakan. Layaknya kita mendiskusikan soal mana yang lebih baik sistem pemerintahan parlementer atau presidensil yang keduanya juga pernah dilaksanakan di Indonesia.
Baik sistem Pemilu proporsional terbuka atau proporsional tertutup punya keunggulan dan kekurangannya masing-masing. Utamanya terkait bagaimana teknis pemilihan, perhitungan suara dan penetapan caleg terpilih.
Pada sistem proporsional terbuka secara teknis masyarakat pemilih mencoblos atau mencontreng kertas suara yang berisi lambang partai atau nama caleg yang penetapan keterpilihannya berdasarkan perolehan suara tertinggi.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.