MEMASUKI kontestasi politik 2024, terjadi keriuhan dan saling serang, hingga lontaran ujaran kebencian antarpendukung bakal calon presiden dan partai politik pendukungnya, utamanya di media sosial.
Ujaran kebencian dari sudut pandang hukum adalah perkataan, perilaku, tulisan, ataupun pertunjukan yang tidak boleh dilakukan atau dilarang karena dapat memicu terjadinya tindakan kekerasan dan sikap prasangka.
Indikasi menguatnya ujaran kebencian telah diungkapkan Presidium Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo). Sejak awal 2023, ada kenaikan jumlah hoaks politik, yakni ada 664 hoaks pada triwulan I 2023, atau ada kenaikan 24 persen dari periode sebelumnya.
Menilik sejarah peradaban manusia, perilaku ujaran kebencian yang dibiarkan akan mendorong terjadinya kebencian kolektif, pengucilan, diskriminasi, kekerasan, dan bahkan pada tingkat yang paling mengerikan, pembantaian etnis.
Seperti yang terjadi di Rwanda, Suriah dan beberapa negara lainnya yang berawal dari tumbuh suburnya kebencian kolektif di antara sesama anak bangsa yang dipicu faktor politik.
Ujaran kebencian harus ditangani dengan baik karena dapat merongrong prinsip berbangsa dan bernegara yang berbhineka untuk melindungi keragaman kelompok dalam bangsa ini.
Terlebih dalam budaya komunikasi politik kita, meminjam ungkapan Yudi Latif, masih diwarnai oleh surplus kegaduhan dan defisit kesunyian.
Bahkan agama seringkali diekspresikan dengan cara provokatif dan miskin humanisme. Agama telah menjadi alat bagi kepentingan politik.
Agar tidak menimbulkan dampak polarisasi dan terwujudnya kontestasi politik yang berkualitas diperlukan adanya penegakan hukum, bagi penyebar ujaran kebencian selain melalui cara edukasi.
Aktor politik juga harus menjadi sasaran utama penegakan hukum. Sebagaimana hasil Survei dan Polling Indonesia (Spin) tahun lalu, sebanyak 20,2 persen masyarakat meyakini sikap politikus menjadi faktor dominan yang menyebabkan polarisasi pemilu.
Peran mereka lebih besar ketimbang pemengaruh (influencer) dan pendengung (buzzer).
Kementerian Komunikasi dan Informatika sejak 2020 telah menjalankan tiga mekanisme memerangi hoaks.
Selain preventif lewat edukasi, dilakukan dua strategi korektif, yakni penegakan hukum bersama Polri, dan patroli siber 24 jam menggunakan kecerdasan buatan (AI). Hingga Januari 2023, patrol siber itu telah menangani 1.321 hoaks politik.
UU Nomor 19/2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 45 ayat (3), menyatakan “bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 750 juta.
Juga diperkuat dengan Surat Edaran Kapolri Nomor SE/06/X/2015 soal Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech) sebagai acuan dan ketegasan bagi anggotanya dalam penegakan hukum.