JAKARTA, KOMPAS.com - Raut ngeri dan sedih nampak berbaur di wajah Ita Fatia Nadia, salah seorang Tim Relawan Kemanusiaan Mei 1998, saat menceritakan fenomena kelam di tahun itu.
Sesekali suaranya bergetar, meski insidennya sudah lebih dari 25 tahun yang lalu.
Sebagai relawan, dia menjadi saksi hidup dari kekejaman manusia yang tidak bisa lagi ditolerir. Dengan mata kepalanya sendiri, Ita melihat banyak korban rudapaksa massal yang sekarat hingga meninggal dunia, maupun yang masih hidup dengan trauma berkepanjangan.
Fenomena pemerkosaan massal terjadi di tengah keosnya kondisi Ibu Kota, sejak terjadi krisis ekonomi tahun 1997.
Di tahun itu, banyak pemecatan massal hingga orang sulit makan. Akhirnya, masyarakat dan mahasiswa demonstrasi turun ke jalan, melakukan penjarahan di mana-mana sampai menyerang fasilitas publik dan pusat perbelanjaan.
Baca juga: Fahri Hamzah, Manusia Kampung dari NTB di Tengah Gerakan Reformasi Mei 1998
Puncaknya pada 11-15 Mei 1998, Ita menerima banyak sekali aduan pemerkosaan etnis Tionghoa melalui telepon atau radio panggil (pager) miliknya.
Di masa-masa itu lah, dia mendampingi para korban untuk mendapat keadilan, atau paling tidak membantu mereka menyembuhkan luka mendalam.
Membantu para korban cukup membuat Ita trauma, utamanya ketika laporan kejadian rudapaksa massal silih berganti setiap hari, setiap waktu.
Di momen penuh tantangan itu, Ita dan tim harus bekerja cepat dan tepat membantu para korban. Ia mengaku tidak punya waktu untuk memperhatikan guncangan psikis yang dialami.
Hal itu kata Ita, menjadi satu kekeliruan yang terus dibiarkan. Padahal, sebagai pendamping, Ita dan tim juga memerlukan pendampingan dan pelepasan luka batin.
"Pada bulan Mei itu para pendamping, kita, tidak meng-healing. Jadi waktu itu kita benar-benar untuk korban. Kekeliruan kami, kami tidak ada jeda. Jadi healing-nya itu tidak terjadi untuk para pendamping atau yang mendampingi," kata Ita kepada Kompas.com melalui wawancara daring, Rabu (17/5/2023) malam.
Baca juga: Pembunuhan Ita Martadinata, Pukulan Telak yang Bungkam Korban Pemerkosaan Mei 1998
Dalam satu momen, Ita bercerita harus minum obat tidur. Momen itu terjadi ketika ia mendampingi seorang gadis cilik keturunan Tionghoa berusia 11 tahun korban pemerkosaan, Fransisca.
Mulanya, dia mendapat telepon sekitar tanggal 14 Mei 2023 untuk menemui Fransisca di Kota Lama, Tangerang.
Kala itu, Fransisca sekarat mengalami pendarahan akibat kemaluannya dirusak memakai botol beling yang dipecahkan di dalam. Kakak dan ibunya telah lebih dulu meninggal karena kasus pemerkosaan pula.
Melihatnya sekarat, Ita memiliki firasat kalau Fransisca segera menyusul sang ibu dan kakak bila tidak kuat.