GURU Besar Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada, Profesor Faruk Tripoli (2012) membenarkan sastra sebagai potret pemikiran pengarangnya sekaligus menggambarkan kondisi sosial ketika sastra ditulis. Karenanya, sastra berfungsi mendorong perubahan sosial.
Lebih tegas lagi Guru Besar Sosiologi Sastra Universitas Airlangga, Profesor Ida Bagus Putera Manuaba (2014) menyebut apapun jenis, corak dan bentuknya, sastra berfungsi mengubah pola hidup, pola pikir, dan struktur sosial masyarakat.
Hasil riset Manuaba (2010) di kawasan hutan Baluran dan Gilimanuk, menyimpulkan mitos (sebagai sastra) yang dipercayai dapat menggerakkan masyarakat kawasan hutan untuk terus melestarikan hutan dan menjaga harmoni. Di mana mitos masih dipercaya masyarakat, di sana hutan lestari.
Sastra adalah hasil konstruksi berpikir yang merupakan buah dari proses dekonstruksi atas pemikiran sebelumnya.
Banyak sastra mewacanakan konstruksi baru, lalu konstruksi itu akan didekonstruksi lagi, begitu terus menerus.
Jalan konstruksi dan dekonstruksi sastra melaju melalui Bahasa. Sastra tidak mungkin eksis tanpa Bahasa.
Bagi Prof Ida Bagus Putra Manuaba, sastra dan bahasa satu kesatuan jalinan terkait tak terpisahkan. Maka, fungsi ekstrinsik yang dimiliki sastra, pasti dimiliki bahasa. Termasuk fungsi bahasa dalam perubahan sosial.
Sebagai media komunikasi, Bahasa juga menjadi mediun wacana. Adalah Rahmah Ida (2014) seorang Profesor Studi Media pertama di Indonesia, menyimpulkan wacana (discourse) sebagai hasil olah pikir dan tindakan si pembuat discourse dengan menggunakan medium bahasa (verbal maupun non-verbal) untuk merepresentasikan realitas.
Tak heran di masa revolusi kemerdekaan Indonesia, bahasa menjadi medium diskursus-diskursus antikolonialisme, seperti “merdeka 100 persen“ (Tan Malaka), “merdeka atau mati“ (Sudirman), “revolusi belum selesai“ (Bung Karno), “resolusi jihad“ (Hadratussyekh KH. Hasyim Asy’ari), dan sebagainya.
Di sinilah urgensinya wacana/diskursus/discourse/bahasa/lambang bisa menjadi instrumen untuk menciptakan perubahan sosial.
Tepat di jantung pembahasan tentang fungsi bahasa dalam perubahan sosial itu, saya ingin menggelorakan diskursus baru pembangunan desa. Bahwa bahasa (wacana) bisa menjadi salah satu instrumen perubahan sosial di desa.
Sebagaimana diketahui, sudah puluhan tahun desa dianggap unit pemerintahan terkecil, oleh karena itu mendapat prioritas perhatian yang kecil pula dari negara.
Namun sejak adanya UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa-desa di Indonesia mulai mendapat perhatian serius.
Secara adminsitratif desa memang unit pemerintahan terkecil, akan tetapi dalam politik pembangunan, desa harus mendapat prioritas utama.
Ini perintah konstitusi kita, seperti disebut pasal 18 Undang-Undang Dasar 1945 dan penjelasannya yang menyebut desa/kampung sebagai daerah kecil yang memiliki susunan asli dan karenanya dianggap istimewa.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.