JANGAN pernah meremehkan kekuatan maaf. Kalimat ini menjadi pesan kental dan sepenggal judul tulisan Amir Sodikin di Kompas.com, "The Power of Maaf", Jangan Remehkan Kekuatan Maaf.
Dalam perenungan Amir, kekuatan maaf hanya mensyaratkan satu hal untuk bisa digunakan oleh siapa saja. Syarat itu adalah punya stok maaf, baik untuk meminta maaf maupun sebaliknya memberikan maaf.
Amir bertutur tentang kekuatan maaf itu lewat kisah yang dia saksikan dalam sebuah pelatihan.
Siang itu, tutur Amir, di sebuah ruang pelatihan yang diampu oleh seorang psikolog, suasana dibangun hening. Para peserta diminta memejamkan mata. Keheningan pun semakin mencekam, gelap pekat bagi masing-masing individu.
Semua orang diminta melakukan perjalanan virtual ke masa lalu. Mencari residu sakit hati, dendam kesumat, ataupun kejadian traumatis terkait hubungannya dengan sesama manusia di masa lalu, entah dengan anggota keluarga, teman, orang dekat, atau orang lain.
Setelah residu sakit hati itu ketemu, setiap orang diminta memaafkan mereka yang telah menyakiti kita. Sebesar apa pun kesalahan yang telah diperbuat oleh orang itu, kita harus rela memaafkannya.
Ibarat gim atau permainan, target perburuan perjalanan virtual itu adalah mencari luka-luka batin akibat hubungan buruk yang belum termaafkan. Cari induknya dan untuk menghancurkan residu itu maka tembakkanlah seratus maaf, jika kurang seribu, bahkan selaksa, bila perlu sejuta maaf yang kita miliki.
Terasa berat dan sakit, tetapi saat residu itu rontok maka jiwa seolah ringan, terbang melayang, serasa lahir menjadi manusia tanpa beban, kembali ke fitrah manusia yang memang penuh maaf.
Instruktur pun memberi aba-aba agar peserta mengakhiri perjalanan virtual hari itu. Peserta pun diminta membuka mata kembali.
Tiba-tiba….”bruk...”, Amir mendengar teman di sebelahnya terjatuh dari posisi duduknya. Tubuhnya lunglai, lemas, dan air mata tampak meleleh. Sang kawan jatuh pingsan.
Baca juga: Mudik Lebaran, Pulang Menjemput Keajaiban Maaf...
Instruktur pun segera membangunkan kawan Amir. Beberapa saat kemudian, si teman tersebut bangun. Sesenggukan dan linangan air mata seolah mengatakan semua yang terjadi. Semua peserta diam, tak ada yang mencoba berani bertanya apa yang sedang terjadi.
“Sakit…, Mir,” ujar Amir menirukan sang kawan yang berucap selepas meneguk segelas air dari instruktur. “Kesalahan dia sebenarnya sudah saya lupakan. Tapi belum pernah benar-benar saya maafkan, sekarang saya sudah memaafkannya. Proses memaafkannya itu yang sakit, tapi setelah itu rasanya lega,” lanjut Amir menuturkan ulang kata-kata kawannya.
Dendam kesumat dan luka batin adalah “racun” atau energi negatif yang bisa menggerogoti jiwa seseorang. Jika seseorang telah mampu memaafkan kesalahan orang lain yang dianggap sebagai kesalahan terbesar yang pernah dilakukan pada diri kita, kesalahan-kesalahan kecil lainnya sudah tentu lebih mudah untuk dimaafkan.
Orang-orang yang telah memaafkan masa lalunya, yang mampu berdamai dengan keadaan masa lalu, lebih ringan menghadapi masa depan sesulit apapun itu. Orang-orang yang ringan memaafkan, jiwanya lebih sehat, mudah lepas dari rongrongan sakit hati.
Kata-kata maaf, entah meminta maaf atau memberikan maaf, ternyata berkhasiat seperi terapi pada diri kita sendiri. Luka batin masa lalu, entah karena disakiti “mantan”, disakiti musuh, dikhianati orang kepercayaan, difitnah rekan kerja atau orang terkasih, atau karena cekcok dengan keluarga, tak semestinya dibawa lari sepanjang hidup.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.