Power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely. ~Lord Acton~
KORUPSI. Kalau kata Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD, parahnya korupsi di negeri ini bisa digambarkan dalam satu kalimat. “Menoleh ke mana saja, ada korupsi.”
Bila merujuk kutipan Lord Acton di awal tulisan ini, kekuasaan yang cenderung korupsi juga tak melulu dilakukan oleh mereka yang berada di puncak kuasa. Kuncinya ada pada kata “akses”.
Deputi Bidang Pencegahan dan Monitoring Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Pahala Nainggolan, misalnya, bercerita soal celah dari akses ini lewat contoh informasi pertanahan. Karena orang yang hendak membuka lahan butuh informasi soal tata ruang, pemilik informasi bisa memainkannya.
“Oh, ada tiga yang berminat nih, saya punya informasi. Sesederhana itu (modus dan celah korupsi di pertanahan, sebagai contoh),” kata Pahala dalam perbincangan Gaspol di Kompas.com.
Obatnya, menurut Pahala, cuma satu, yaitu transparansi. Terlebih lagi, era digital memungkinkan informasi publik diakses oleh siapa saja, kapan saja, dan dari mana saja.
Namun, digitalisasi masihlah persoalan besar di negeri ini. Kebanyakan instansi publik masih menempatkan digitalisasi pada tataran sebatas mengunggah informasi digital, belum menjalankan seluruh proses publik secara digital dan transparan.
Tidak mengherankan bila sekalipun informasinya sudah disebar ke mana-mana secara digital, pada akhirnya publik masih rentan “terjebak” di loket eksekusi. Pungutan liar tanpa kuitansi dengan nominal jauh melebihi daftar angka yang ditempel di dinding kantor dan layar digital, atas nama kelancaran layanan.
Meski demikian, peneliti dan Direktur Visi Integritas, Adnan Topan Husodo, mengingatkan pula bahwa pada 2020 ada survei yang mendapati bahwa korupsi di loket layanan ini juga terjadi karena publik tergoda oleh proses yang lebih cepat.
“Alasan kasih uang ekstra karena pengin proses cepat. Alasan lain, untuk ekspresi terima kasih. Tapi alasan terbanyak, proses dipercepat. Jadi (ini korupsi) instrumental karena ada motif,” tutur Adnan dalam perbincangan dengan Kompas.com, Rabu (22/2/2023).
Solusinya, kata Adnan, selain pendidikan tentang korupsi harus makin digiatkan secara efektif, juga adalah perbaikan layanan yang sebaiknya meminimalkan tatap muka di loket ataupun interaksi langsung untuk transaksi.
Contoh yang dia ajukan soal perbaikan layanan ini adalah hilangnya praktik naik kereta rel listrik (KRL) di atap begitu layanan KRL diperbaiki sejak pintu masuk stasiun.
Digitalisasi, kata Adnan, barulah satu tahapan dari keseluruhan proses yang harus dilakukan negara dan masyarakat untuk memberantas korupsi.
“Kalau bicara sektor publik dan reformanya, apalagi yang berinteraksi langsung dengan masyarakat, harus ada upaya holistik untuk mengubah,” tegas Adnan.
Proses sudah digital, ujar Adnan, tapi pada hasil akhirnya masih bisa diintervensi oleh pemilik kuasa, akhirnya sama saja. Publik akan ikut “aturan main” di lapangan.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.