JAKARTA, KOMPAS.com - Manipulasi informasi dan propaganda kebencian diprediksi akan berpotensi terjadi pada pergelaran Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.
Associate Professor at Public Policy & Management Program Monash University Indonesia Ika Idris mengatakan, manipulasi yang sering terjadi biasanya manipulasi yang dilakukan aktor politik demi mengerek popularitas.
"Contohnya reputasinya enggak terlalu populer amat, terus mau populer, akhirnya bikinlah disinformasi untuk mengangkat popularitas," ujar Ika dalam Webinar bertajuk "Mengenali Model dan Bentuk Gangguan Informasi dalam Pemilu" yang diselanggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Selasa (11/4/2023).
Ika juga mewanti-wanti terkait potensi propaganda kebencian menjelang pemilu.
Baca juga: Hentikan Polarisasi, Pengalaman Buruk di Pemilu Lalu Jangan Terulang
Propaganda kebencian itu dapat berujung terciptanya polarisasi terhadap masyarakat.
"Yang paling bahaya divide, kalau kita terbelah, kita sadar sebenarnya kita terbelah," kata Ika.
Kemudian, lanjut Ika, manipulasi informasi juga dapat memengaruhi sikap masyarakat terhadap pemilu.
"Kita tidak bisa menilai informasi, kita bingung terus akhirnya enggak memilih atau tidak berpartisipasi," ucap Ika.
Baca juga: Kemenko Polhukam: Belum Ada Aturan untuk Politik Identitas, Ini Bahaya Bagi Persatuan Bangsa
Hal sama juga disampaikan Jurnalis Kompas.com sekaligus Trainer Tersertifikasi AJI-Google News Initiative (GNI), Inggried Dwi Wedhaswary.
Menurut Inggried, manipulasi informasi dapat memengaruhi pilihan sikap masyarakat agar tidak menggunakan hak suaranya dalam pemilu.
Selain itu, manipulasi informasi seringkali juga dalam bentuk propaganda dan ujaran kebencian terhadap identitas.
"Isu PKI yang sering didaur ulang, paling sering dimanfaatkan pada momen-momen politik. Ini nanti juga harus jadi perhatian," kata Inggried.
Inggried menyebutkan, aktor-aktor yang berpotensi menyebar manipulasi informasi antara lain partai politik, kelompok yang ingin menebar kebencian, pemerintah asing, pemerintah domestik, aktor komersial, dan media non-independen.
Bahkan, kata Inggried, terkadang motif manipulasi informasi tidak hanya murni politik, tetapi juga bisnis.
"Momennya politik, motifnya tidak murni politik. Ada orang-orang yang memanfaatkan momen itu untuk meraup kepentingan secara bisnis," ujar dia.
Baca juga: Kontroversi soal Politik Identitas dan Masjid Berlanjut, Partai Ummat Ingin Temui Bawaslu
Oleh karena itu, perlu antisipasi sejak awal menjelang gelaran Pemilu 2024. Pemantauan bisa dilakukan empat hingga lima bulan menjelang pesta demokrasi lima tahunan itu.
"Melihat potensi ini, penting untuk melakukan antisipasi," kata Inggried.
"Konteks Pemilu 2024, pemantauan kita lakukan lebih panjang karena gangguan informasi seputar politik sudah banyak mulai menyebar," ucap Inggried.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.